Jumat, April 06, 2007

Memahami korupsi (2 dari 2)

Posting ini menyambung posting sebelumnya. Berikut adalah beberapa prinsip umum tentang korupsi dan penanganannya:

Prinsip umum 1: Mekanisme pasar

  • Korupsi adalah respon dari insentif yang muncul karena kebutuhan mendasar pemerintah untuk melakukan intervensi atas mekanisme pasar (seperti untuk melakukan regulasi atau redistribusi).
  • Semakin jauh perbedaan antara hasil yang diinginkan pemerintah dari hasil mekanisme pasar, semakin besar risiko korupsi:
    • Tidak berarti mekanisme pasar harus selalu diikuti
    • ...namun andai harga beras miskin setengah (alih-alih seperlima) harga pasar, korupsi akan lebih kecil

Prinsip umum 2: Biaya sosial korupsi
  • Korupsi bisa menciptakan biaya sosial tanpa adanya suap-menyuap:
    • Bayangkan klinik umum yang mempekerjakan seorang dokter yang juga memiliki klinik pribadi.
    • Korupsi terjadi ketika dokter tersebut memberikan pelayanan buruk di klinik umum agar pasien datang ke klinik pribadi dia.
  • Suap-menyuap tidak serta-merta menciptakan biaya sosial korupsi:
    • Keputusan seseorang untuk melanggar aturan lalu-lintas ditentukan oleh besarnya nilai tilang, bukan oleh siapa yang menerima uang tilang tersebut
    • Jika "uang damai" sama besarnya dengan uang tilang, tidak ada beda antara "uang damai" dengan tilang.
    • Masalahnya terjadi ketika nilai tilang itu "dibagi dua" antara pelanggar aturan dan polisi (yi, nilai "uang damai" di bawah tilang), sehingga kecenderungan pelanggaran lalu lintas meningkat
  • Nilai uang korupsi (uang suap, "uang damai", dsb) adalah transfer dan tidak sama dengan biaya sosial
  • Ini berarti bahwa penanganan korupsi seharusnya terfokus bukan pada jenis-jenis korupsi yang terbesar nilai uangnya, tetapi pada korupsi yang terbesar biaya sosialnya.

Prinsip umum 3: Kompetisi dan kolusi
  • Struktur hubungan antar-birokrat penting menentukan sifat dan biaya korupsi
    • Kadang kompetisi itu baik -- lebih baik ada banyak kios untuk mendapatkan beras miskin daripada hanya satu
    • Kadang kompetisi itu buruk -- lebih baik ada satu kantor untuk mendapatkan izin daripada harus pergi ke 7 kantor berbeda untuk mendapatkannya (Catatan 'redaksi': Saya pikir ini contoh yang buruk tentang dampak buruk kompetisi atas korupsi)
    • Kadang kompetisi tidak mungkin: Tidak mungkin menciptakan kantor polisi yang berkompetisi dalam menentukan daerah kekuasaan dia.

Prinsip umum 4: Korupsi melahirkan lebih banyak korupsi
  • Ada banyak cara korupsi melahirkan korupsi:
    • Jika banyak orang korupsi, penegak hukum akan kewalahan, sehingga mengurangi ancaman hukum bisa ditegakkan terhadap koruptor.
    • Orang yang ingin cepat kaya dengan sengaja mengupayakan masuk ke dalam birokrasi jika banyak korupsi, tapi akan memilih pekerjaan lain jika korupsi sedikit
    • Terpenting: Jika sistem hukum dan kehakiman itu korup, sulit menghukum koruptor, termasuk para hakim-hakim korup itu sendiri


Implikasi prinsip-prinsip tersebut bagi kebijakan anti-korupsi...
  • Kita harus mengerti cara birokrat mengambil keputusan secara komprehensif, bukan hanya besaran uang suap yang dia terima
  • Seringkali, solusi anti-korupsi mengharuskan perubahan struktur hukum atau birokrasi, bukan sekadar penegakan hukum
  • Dalam merancang solusi, fokus harus diberikan pada bentuk-bentuk korupsi yang biaya sosialnya paling tinggi, bukan sekadar yang nilai uangnya paling tinggi
  • Strategi yang efektif menekan korupsi di negara-negara yang tingkat korupsinya rendah belum tentu berhasil di negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi.
Beberapa makalah yang relevan:

Label: ,

6 Comments:

At 7/25/2007 12:42:00 AM, Blogger Socrates Rudy Sirait, PhD said...

Solusi yang paling ampuh adalah dengan memastikan bahwa koruptor diadili dan masuk penjara untuk hukuman yang berat.

Saat ini rasanya kasus2 koruptor yang diadili dan di penjara telah turut meredakan wabah korupsi.

 
At 7/25/2007 07:38:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

Socrates,
Hukuman berat bagi koruptor bisa menciptakan masalah baru jika sumber perilaku korupsi itu berasal dari insentif yang diciptakan oleh sebuah kebijakan dalam birokrasi.

Jika sistemnya tidak diperbaiki, hukuman berat hanya akan mengisi birokrasi dengan orang-orang yang pandai bersembunyi dari jerat hukum. Orang-orang baik memilih tidak berbuat apa-apa karena khawatir terjebak.

Cermati saja apa yang dikatakan Rokhmin Dahuri: sistem keuangan negara membuat para birokrat jadi munafik. Penegakan hukum saja tidak akan menyelesaikan masalah yang berakar dari sistem keuangan negara yang selama ini (secara sengaja?) tidak transparan.

 
At 8/08/2007 09:18:00 PM, Blogger Socrates Rudy Sirait, PhD said...

Sedikit tanggapan, ada dua cara utama untuk menumpas korupsi, satu adalah tindakan preventif dan kedua adalah tindakan penanggulangan.

Cara preventif terbaik adalah dengan melakukan edukasi kepada masyarakat dimulai dari usia dini, dimana proses ini adalah proses yang memakan waktu sangat panjang. Dengan tujuan terciptanya satu generasi mendatang yang tidak memiliki "niat" untuk korupsi.

Cara hukuman adalah bagian dari penanggulangan korupsi.Sistem di Indonesia cukup berjalan dengan baik, apalagi pada masa paska krisis keuangan 97/8 dimana corporate governance mulai dijadikan satu indikator sistem yang transparan.

Sistem terbaik tidak akan pernah menjamin tidak terjadinya korupsi karena korupsi tidak serta merta datang dari adanya kesempatan tetapi lebih dari sikap mental manusiannya sendiri. Kesempatan tidak adapun, tetap mereka cari jalan untuk korupsi.

Rokhmin? Bukannya dia kena kasus korupsi. Sorry, I don't buy it. Tidak ada sistem tata negara/keuangan negara yg menciptakan manusianya/pelakunya menjadi munafik karena sistem hanya merupakan "tools", tinggal manusianya melihat itu "tools" yang seperti apa?. Orang "tertentu" tentu akan sampai pendapat yang langka, seperti: sistem menciptakan birokrat yang munafik.... :))

 
At 8/08/2007 11:19:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Socrates,
Anda menulis:

'Tidak ada sistem tata negara/keuangan negara yg menciptakan manusianya/pelakunya menjadi munafik karena sistem hanya merupakan "tools", tinggal manusianya melihat itu "tools" yang seperti apa?'

Ini klaim gegabah yang simplistik. Dengan mudah saya bisa mengambil satu counterexample. Sistem komunisme Soviet, misalnya, menciptakan sistem birokrasi munafik dengan 'pemerintah yang berpura-pura membayar, dan birokrat pura-pura bekerja'. Mirip dengan banyak birokrat kita -- baik di masa Orde Baru, hingga sekarang.

Jika sistem tata birokrasi tidak memberikan insentif yang benar, orang-orang yang baik, jujur, dan kompeten tidak akan bertahan di birokrasi. Kalau sudah begitu, hukuman berat bagi koruptor (di atas kertas) sama sekali tidak ada manfaatnya.

 
At 8/09/2007 06:54:00 PM, Blogger Socrates Rudy Sirait, PhD said...

Saya kira ini masalah sudut pandang. Tanpa bermaksud memperpanjang argumentasi, kasus yg anda angkat, kembali kepada persoalan semula bahwa manusianya/pejabatnya yang menyalahgunakan hal tsb.

Sistem sosialisme berjalan baik di negara2 Skandinavia, komunisme berjalan baik di China, kapitalisme di USA, Singapore dll. Namun demikian, kita bisa mencari contoh yang sama banyaknya, dimana sistem2 di atas tidak berjalan dengan baik.

Kenapa terjadi perbedaan? Karena manusianya berbeda, kultur berbeda, dan mungkin diterapkan pada tata ruang, waktu dan tempat yang berbeda.

Salam.

 
At 8/11/2007 12:41:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Socrates:
Saya pikir ini bukan sekadar soal sudut pandang tapi soal logika. Korupsi, seperti juga munafik, adalah perilaku. Maka kritik Anda terhadap penyataan Rokhmin bisa direformulasikan berikut:"sebagai 'tools', sistem tata negara tidak bisa membuat (atau mengubah) perilaku individu".

Saya pikir generalisasi ini sahih -- kecuali jika yang Anda maksudkan dengan pernyataan Anda adalah "sistem tata negara bisa mengubah pelbagai perilaku individu kecuali perilaku munafik".

Jika Anda menerima generalisasi ini, Anda menafikan solusi Anda sendiri. Jika sistem tata negara -- dan hukum pidana adalah bagian dari sistem tata negara -- tidak bisa mengubah perilaku individu, maka hukuman yang berat pun tidak akan meredakan wabah korupsi sedikitpun.

Mengapa? Karena apapun sistemnya, seorang yang memiliki perilaku korup akan tetap begitu, terlepas dari hukumannya. Jika premis Anda itu diterima, selain lewat hukuman mati bagi koruptor, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi korupsi.

 

Posting Komentar

<< Home