Stabilitas moneter hanya untuk sektor keuangan?
"Uang, ternyata, sama seperti seks, Anda tak bisa memikirkan hal lain jika tidak memilikinya dan memikirkan hal-hal lain jika sedang menikmatinya"
James Arthur Baldwin
Hari ini di opini Kompas, Didik Rachbini mengritik penekanan Bank Indonesia pada stabilitas moneter. Menurut Didik:
Secara ekstrem bisa dipertanyakan, untuk apa stabilitas makro jika tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan produktivitas di masyarakat?
Jawaban atas pertanyaan ini jelas, stabilitas makro tidak banyak berguna untuk sektor riil, tetapi lebih bermanfaat untuk sektor keuangan sendiri.
Bank Indonesia melakukan rekayasa kebijakan suku bunga tinggi untuk mencapai kondisi yang betul-betul stabil. Posisinya yang kuat dan independen karena undang-undang yang baru dimanfaatkan secara maksimal hanya untuk kepentingan sektor keuangan, tetapi mengabaikan sektor ekonomi yang sebenarnya.
Pernyataan Didik menunjukkan, bukan hanya uang yang mirip seks — stabilitas keuangan pun begitu. Begitu dinikmati, orang lupa betapa pentingnya stabilitas, bahkan cenderung menyalahkannya...
Sampai ketika stabilitas itu ambruk, membawa kita kembali ke krisis.
Terakhir kita hampir merasakan guncangan keuangan adalah pada sekitar Agustus 2005. Ketika itu, harga minyak sejalan dengan bunga Fed terus menekan naik. Waktu itu, Bank Indonesia (BI) terkesan ingin mengikuti nasihat-nasihat a la Didik untuk "peduli" pada sektor riil dan ragu menaikkan suku bunga. Namun, there's no such thing as a free lunch: Keraguan ini dibaca pasar yang menghukumnya dengan memindahkan modal keluar. Hasilnya, nilai mata uang terus merosot.
Siapa yang ketika itu pertama kali berteriak? Pemain sektor keuangan? Tentu tidak. Pemain sektor keuangan menikmati fluktuasi karena, sebagai pakar menilai risiko keuangan, ketidakstabilan membawa banyak keuntungan. Yang berteriak paling keras adalah para pengusaha sektor riil — mereka yang butuh untuk mengimpor dan mengekspor.
Untung BI akhirnya sadar dan menaikkan suku bunga pada 30 Agustus 2005, dan pasar pun akhirnya kembali tenang. Namun ini bukannya tanpa biaya, dan sebagian besar biaya tersebut ditanggung sektor riil.
Argumen Didik jelas salah kaprah: Bukan sektor keuangan yang diuntungkan oleh stabilitas, tapi "sektor ekonomi yang sebenarnya". Namun, ini juga tidak berarti bahwa kebijakan uang ketat selalu tepat. Acuan yang harus dipakai (sesuai kerangka BI) adalah tingkat inflasi. Sejauh inflasi cukup rendah, BI bisa melonggarkan kebijakan moneter — sesuatu yang sudah mulai dilakukan BI.
Stabilitas keuangan janganlah diperlakukan bak seks — kala dinikmati, jangan pula kita lupa betapa sengsaranya perekonomian jika dia tidak ada.
Label: ekonomi makro, moneter
14 Comments:
Come on. Sebagai ekonom anda harusnya berpikir sebagai ekonom dong. Masak sih saya yang hanya pernah baca buku makronya Blanchard harus ikut menjelaskan. Hehe
Anda pernah tau trade off antara inflasi dan pengangguran?
Jika iya, stabilitas yang dimaksud adalah upaya berlebihan dari pemerintah dan otoritas moneter untuk menjaga inflasi (ex: dengan menaikkan suku bunga). Dan mengorbankan pengangguran (maksudnya adalah sektor riil).
Saya tidak membela Didik. Tapi yang saya tau, suku bunga tinggi baik untuk sektor finansial (lihat buktinya investasi protfolio di Balance of Payment), tapi buruk bagi sektor riil (salah satu bukti lihat FDI di BOP juga).
Sebaiknya anda paham dulu konteks pembicaraan orang, biar Anda tidak salah kaprah menyatakan orang lain salah kaprah. Hehehe... jadi kurang enak membacanya
Angelita,
Saya harus akui, saya tidak pernah membaca buku makro Blanchard. Tapi perkiraan saya, jika Anda baca Blanchard lebih jauh, Anda akan menemukan kritik Edmund Phelps dan (alm.) Milton Friedman tentang trade-off yang dikenal sebagai Phillips curve tersebut.
Esensinya, trade-off inflasi dan pengangguran adalah ilusi pada jangka panjang. Pelaku ekonomi yang rasional akan sadar bahwa peningkatan penghasilan yang terjadi ketika ekonomi menghangat itu akan tergerus oleh inflasi.
Setelah para pelaku ekonomi sadar, mereka akan menyesuaikan perilaku sehingga pertumbuhan melambat dan penurunan tingkat pengangguran yang diharapkan tidak terjadi.
Koreksi Phelps dan Friedman menunjukkan bahwa bukan inflasilah yang penting pada jangka panjang, melainkan ekspektasi inflasi. Inilah fungsi utama bank sentral: mempertahankan ekspektasi inflasi tetap rendah, sehingga ekonomi riil tumbuh sesuai potensinya.
Apa masalahnya jika bank sentral gegabah dan mengorbankan stabilitas keuangan "demi sektor riil"? Seperti yang ditunjukkan oleh Finn Kydland dan Edward Prescott, ekspektasi inflasi akan tinggi. Jika dibiarkan, ekspektasi inflasi (yang akan diikuti oleh inflasi aktual) akan terus naik, menciptakan hiperinflasi.
Saya rasa Anda bisa menemukan ini semua di Blanchard. Namun, jika tidak, mungkin bisa Anda coba buku teks seperti Rogoff dan Obstfeld.
Tapi, mari kembali ke pernyataan Didik. Didik menyatakan bahwa "stabilitas makro tidak banyak berguna untuk sektor riil, tetapi lebih bermanfaat untuk sektor keuangan sendiri".
Seorang ekonom tidak akan membuat pernyataan ini, karena semua ekonom (seharusnya) tahu bahwa korban pertama dan terutama dari instabilitas makro (per mekanisme yang saya tuturkan di atas) adalah sektor riil. Kalau bank sentral gegabah dengan stabilitas, pasar akan mengendusnya dan segera menghukumnya (seperti yang terjadi sekitar satu setengah tahun yang lalu).
Mungkin baiknya Anda juga membaca sedikit teori makro sebelum menyatakan orang lain tidak paham konteks dan salah kaprah. Supaya jadi enak membacanya. ;-D
Sebetulnya Blanchard dalam bukunya sudah memasukkan kritik Friedman dan Edmund Phelps soal Philips curve dan inflasi. Dia juga memasukan modifikasi relasi inflasi dan pengangguran. Coba deh dicek bukunya sekali lagi :D
Tapi memang ada kecenderungan beberapa ekonom yang tidak bisa membedakan efek monetary policy dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Sayangnya mereka terlampau terburu2 berkesimpulan 1)sektor moneter tidak memiliki implikasi ke sektor riil 2)Tidak ada keterkaitan antara indikator mikro-makro (ini kesimpulan yang paling sering muncul di media) 3)Teori dasar ekonomi makro salah sama sekali (tapi tidak ada teori alternatif).
Untuk yang satu ini saya sepakat dengan Angelita, mungkin mereka perlu membaca buku Blanchard, Intermediate Macroeconomics.
SALAH besar kalau dibilang stabilitas makro hanya untuk sektor finansial saja. Harusnya sektor riil juga menikmatinya, seperti logika Bung Arya.
Tetapi jangan lupa. Cara yang dilakukan BI (yang diamini pemerintah) untuk mencapai stabilitas tersebut, telah mengorbankan sektor riil. Saya rasa ini yang dimaksud Pak Didik Rachbini sebagai tidak ada manfaatnya. Bukan stabilitas itu sendiri yang tidak bermanfaat.
Contohnya, inflasi akibat kenaikan harga administered 2005 telah dicoba diobati dengan kenaikan suku bunga sampai 12,5%. Saya kira ini telah menyebabkan sektor riil menderita double hit: cost minyak dan cost of fund.
Tetapi di sisi lain, investor berbondong2 ke Indonesia memborong obligasi negara dan SBI, karena real interest spreadnya lebih menggiurkan di Indonesia.
Bukan kah begitu semuanya?
Jefry,
sebetulnya tergantung cara melihat sektor riilnya seperti apa. Kalau kenaikan suku bunga yang agresif bisa menurunkan inflasi dan bila inflasi dijadikan rujukan untuk menentukan tingkat upah dan tingkat upah lebih fleksibel, maka biaya kenaikan suku bunga tidak seberat yang dibayangkan.
Kedua, sensitivitas inflasi mungkin tidak saja berasal dari interest rate, tetapi juga bisa dipengaruhi dari kebijakan sektor riil itu sendiri, seperti keb. perdagangan--karena sejak lama diidentifikasikan bahwa inflasi di indonesia lebih banyak berasal dari sisi AS.
Ketiga, ada cerita yang belum selesai dari investor yang berbondong-bondong itu. Pertama, para investor masuk karena adanya spread suku bunga riil , yang kemudian berdampak pada nilai tukar (yang kemudian dikenal dengan istilah overshooting). Akan tetapi dalam jangka menengah dan panjang, suku bunga riil akan kembali ke tingkat yang sama--yang dengan logika interest-parity, perbedaan antara suku bunga riil di indonesia akan sama dengan suku bunga riil di AS seperti sebelum kenaikan suku bunga BI. Investor sudah menyadari hal ini, karena itu kenaikan suku bunga akan diikuti oleh ekspektasi akan adanya depresiasi mata uang rupiah dimasa yang akan datang (karena itu apresiasi nilai rupiah yg terjadi dlm jangka pendek akan selalu sama dengan ekpektasi depresiasi nilai rupiah dalam periode2 ke depan : mungkin agak membingungkan untuk dibayangkan :)..).
Pendeknya, sebetulnya tidak ada perubahan dalam suku bunga riil dalam jangka menengah (dan ingat investor hanya concern pada suku bunga riil). Namun memang ada perubahan dalam jangka pendek seperti apresiasi rupiah (yaitu overshooting tadi), tetapi dilihat dari konteks stabilitas moneter, apresiasi itu perlu agar nilai tukar tidak terlalu merosot. Dan ini penting bagi sektor riil.
Bila kritik kemudian melihat bahwa pemodal mengambil untung dari situasi jangka pendek, itu benar sekali. Tetapi ada manfaat yg juga dinikmati sektor riil. Isu penting lain adalah soal kredibilitas, kasus thailand baru-baru ini juga menunjukkan bahwa kebijakan yang bersifat shock kadang bisa memberi sinyal adanya kebijakan yang tidak kredibel.
Bung Yudo
Ekspektasi inflasi 2006 tidak tinggi. Dari inflasi kumulatif empat bulan setelah Oktober 2005 saja, sudah ada sinyal bahwa inflasi 2006 akan jauh lebih rendah. Tapi memang banyak orang terkecoh karena mengacu pada inflasi historis (YoY). Termasuk IMF yang dalam WEO Sep 2006 masih memperkirakan inflasi akhir tahun di atas 10 persen (kalo tidak salah 12 persen). Nampaknya Bank Indonesia juga ikut terkecoh, dengan sangat lambat sekali menurunkan suku bunga.
Saya bukannya menyarankan BI langsung menurunkan suku bunga secara drastis. Karena tentu akan menimbulkan shock terutama di pasar uang. Tetapi BI hendaknya sejak awal mulai melakukan persuasi bahwa tidak ada lagi tekanan inflasi yang tinggi. Tetapi nyatanya BI bersikap sebaliknya. Opini yang mereka bentuk adalah inflasi masih tinggi (baru pertengahan tahun mereka mulai menyadari). Karena itu suku bunga juga harus tinggi untuk mempertahankan real interest rate yang competitive.
Oleh karena itulah mengapa saya katakan suku bunga tinggi ini lebih banyak menciptakan kerugian bagi sektor riil. Padahal ekspektasi inflasi sendiri sudah rendah. Bukankah instrumen suku bunga seharusnya digunakan untuk meredam ekpektasi inflasi yang tinggi? bukan pula merupakan reaksi atas tingginya inflasi historis (YoY)?
Btw, terimakasih atas penjelasannya Bung Yudo... ini pasti jadi masukan buat saya, meskipun seperti kata Bung Yudo, agak sulit membayangkannya karena agak teoritis. Apa yang saya ungkapkan hanya pandangan saya yang awam tentang teori ekonomi.
Bung Jefri,
Sebenarnya BI sudah menyadari bahwa tekanan inflasi akan mereda pasca-Oktober 2006 sejak akhir-2005. BI-pun sudah mengumumkan ini sejak lama dan aktor ekonomi pun sudah sadar sejak Oktober 2005. (Saya rasa, IMF tidak terkecoh -- meski saya tidak lihat laporannya, tapi saya kira IMF berbicara soal inflasi rata-rata 2006, bukan inflasi akhir tahun)
Anda mengusulkan BI untuk melakukan persuasi pasar, tapi bagi pasar, action speaks louder than words. BI perlu mengirimkan sinyal ke pasar bahwa BI tidak akan menoleransi inflasi.
Jika BI terburu-buru menurunkan suku bunga ketika inflasi masih tinggi, pasar, yang sudah tahu bahwa tekanan inflasi akan mereda Oktober 2006, akan menafsirkan tindakan BI itu sebagai refleksi lunaknya sikap BI terhadap inflasi. Inilah sebabnya BI perlu hati-hati menurunkan inflasinya.
Selain itu, istilah Sementara, istilah "merugikan sektor riil" mungkin perlu digunakan hati-hati. Instabilitas moneter pun merugikan sektor riil, dan kerugian ini akan berganda jika disertai oleh hilangnya kredibilitas BI sebagai pembela stabilitas moneter.
Arya,
Rasanya inflasi dua tahun terakhir cukup rendah.
Ttg apakah IMF terkecoh?: Inflasi 2006 saya kira maksudnya inflasi selama 2006, dari 1 Januari 2006 - 31 Desember 2006 -- bukan inflasi rata-rata.
Rasyad,
Setuju bahwa inflasi umumnya cukup rendah. Tapi kenaikan pasca-kenaikan-BBM tidak bisa begitu saja diabaikan karena, meskipun hanya sekali saja, kenaikan itu riil dan masuk dalam perhitungan para pelaku pasar. Karena itulah saya pikir BI perlu hati-hati mengelola suku bunga.
Tentang data IMF, saya penasaran dan coba buka datasetnya di website IMF. Ternyata definisi inflasi yang mereka pakai untuk World Economic Outlook adalah rata-rata setahun, bukan Januari-Desember. [Di kolom Subject Notes untuk General Price Inflation Indonesia tercantum: "Data for inflation are averages for the year, not end-of-period data"].
Tekanan inflasi akan mereda baru pasca-Oktober 2006?
Saya rasa istilah 'tekanan inflasi' ini yang membikin ruwet diskusi.
Jika definisi tekanan inflasi didasarkan pada inflasi historis (YoY), semua orang yang paham ngitung inflasi, memang pasti akan menyimpulkan tekanan inflasi pasca oktober 2006 akan rendah.
Tetapi apakah menentukan tekanan inflasi masih tinggi atau tidak, didasarkan pada inflasi historis? Rasanya tidak. Ini pemahaman yang mislead.
Inflasi bulanan atau inflasi kumulatif pasca Oktober 2005 (plus faktor yang mengancam inflasi bulanan ke depan) rasanya lebih cocok digunakan untuk menentukan tekanan inflasi masih tinggi atau tidak. Dan jika definisi ini yang digunakan, sesungguhnya inflasi sejak awal tahun sangatlah rendah (Sepakat dengan Bung Jefry).
Phone,
Setuju, istilah ini memang meruwetkan. Mungkin -- meskipun saya tidak yakin juga -- akan lebih mudah jika melihat seberapa jauh BI memenuhi target inflasinya.
Tahun 2006, target inflasi BI adalah 8% dan inflasi aktual adalah 6.6%, cukup jauh di bawah target. Dengan standar ini, mungkin ada benarnya bahwa kebijakan moneter BI sepanjang 2006 terlalu ketat.
WAlaupun postingannya saudah lama bagnet, dan saya masih belajar tentang ekonomi . menarik juga pembahsan-pembahsannya. dalam pandangan saya selama ini SBI sebagai salah satu instrumen moneter BI menghadapi pergeseran fungsi utama dari pengendali likuditas nmenjadi salh satu instrumen investasi perbankan dan Pemda. Hal ii pula yang meneybabkan dana yang seharusnya disalurkan untuk kredit menjadi "ngendon" di SBI karena margin bunga yang cukup tinggi dnegan bunga deposito itu sendiri. Jadi menurut saya memang ada benarnya jika kebijkan moneter BI efektif untuk sektor finansial saja dan bagi sektor riil hal ini masih perlu dikasji lagi
Mazr:
Tak dapat disangkal, banyak pihak (bukan hanya pemerintah daerah) menggunakan kesempatan dari tingkat SBI yang tinggi untuk meraup keuntungan. Namun saya kira ini adalah efek samping. Fungsi utama SBI (yang adalah satu-satunya instrumen moneter BI saat itu) tetap dan tidak bergeser: Stabilisasi makro, terutama inflasi.
Dalam kasus pemerintah daerah, yang seharusnya bertindak bukan Bank Indonesia melainkan Departemen Keuangan. Depkeu harus (dan mungkin sudah?) melarang investasi keuangan seperti ini.
Dapatkan pinjaman dana paling tinggi hanya dengan gadai bpkb mobil, bus, truk dan pembiayaan kredit mobil bekas dp rendah di Adira Finance untuk seluruh wilayah Indonesia.
Untuk informasi selengkapnya, Silahkan hubungi marketing kami berikut ini. Cukup melalui sms atau whatsapp, Kemudian marketing kami akan menghubungi Anda.
Contact : Sukma Dinata ( Marketing Officer )
Tlp/ Sms/ Whatsapp : 081280295839
syarat gadai bpkb mobil - https://www.jaminkanbpkb.com/p/syarat-gadai-bpkb-mobil.html
kredit mobil bekas - https://www.jaminkanbpkb.com/p/leasing-pembiayaan-kredit-mobil-bekas.html
cara gadai bpkb mobil - https://www.jaminkanbpkb.com/p/cara-gadai-bpkb.html
cara mencari modal usaha - https://www.jaminkanbpkb.com/p/cara-mencari-modal-usaha.html
mobil antik paling mahal - https://www.jaminkanbpkb.com/p/mobil-antik.html
Posting Komentar
<< Home