Selasa, Oktober 24, 2006

Pornografi dan pemerkosaan

Apakah pornografi menyebabkan peningkatan tingkat pemerkosaan?

"Akal sehat" berkata, ya ― tapi, tentu saja, "akal sehat" tidak selalu benar. Menggunakan data di Amerika Serikat, Todd Kendall menemukan bahwa akses internet ke pornografi tidak meningkatkan tingkat pemerkosaan. Sebaliknya, ada korelasi negatif antara akses ke pornografi (via internet) dengan tingkat pemerkosaan. Atau, dengan kata lain, meningkatnya akses ke pornografi via internet sejalan dengan berkurangnya insiden pemerkosaan. Temuan Kendall dapat Anda lihat di sini.

Dalam ilmu ekonomi, dua barang disebut "barang substitusi" jika konsumsi barang pertama menyebabkan berkurangnya konsumsi barang kedua, dan sebaliknya. Contoh barang substitusi adalah Pepsi dan Coca-Cola, atau Xenia dan Avanza. Sementara, dua barang disebut "barang komplemen" jika peningkatan konsumsi yang satu meningkatkan konsumsi yang lain. Contoh klasik barang komplemen adalah rokok dan kopi, selain kacang dan bir, dan junk food dan minuman bersoda.

Mereka yang anti-pornografi kerap berargumen bahwa pornografi dan pemerkosaan adalah barang komplemen. Temuan Kendall ini menyiratkan sebaliknya, bahwa pornografi dan pemerkosaan adalah barang substitusi, bukan komplemen.

Namun, apakah hubungan substitutif antara pornografi dan pemerkosaan yang ditemukan Kendall ini seragam lintas-negara dan lintas budaya? Saya rasa tidak. Orang merespons insentif, dan struktur insentif di Amerika Serikat ― mulai dari soal penegakan hukum, hingga budaya tentang perilaku seks ― kemungkinan besar mempengaruhi korelasi antara pornografi dan pemerkosaan ini.

Maka, tanpa bukti empiris dari Indonesia, adalah gegabah menyimpulkan bahwa di Indonesia pornografi dan pemerkosaan saling mensubstitusi. Meskipun demikian, temuan ini menunjukkan bahwa asumsi para pendukung RUU Anti-Pornografi tentang hubungan antara pornografi dan pemerkosaan, bisa jadi (atau kemungkinan besar?) tidak tepat.

11 Comments:

At 2/05/2007 09:08:00 AM, Anonymous Anonim said...

Hellooooo!!!!!!!!! open your eyes.Ini Indonesia bung bukan Amerika so kita tidak boleh gegabah menarik kesimpulan dari sebuah penelitian yang dilakukan di negara yang culturenya bertolak belakang dengan kita.Lagipula, sebuah kesimpulan tidak boleh diambil hanya dengan mengandalkan sebuah sumber. Kayaknya kamu harus belajar lagi deh!!!!!!!!!

 
At 2/06/2007 09:55:00 AM, Blogger Bian said...

di indonesia udah jelas banyak banget kasus dengan judul "Pemerkosaan setelah Menonton Film Porno". so, masih berpikiran pornogrfi n pemerkosaan ga ada hubungannya??????

lihat sekitar dunkz! jangan maksain melongok yang jauh2, tar matanya juling lho. hehe...

 
At 2/07/2007 02:18:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Aleshaa,
Komentar Anda ini mendukung pengamatan saya di dua paragraf terakhir posting ini. Jadi saya kurang paham mengapa ada begitu banyak tanda seru di komentar Anda.

Di lain pihak, adalah menarik bahwa Anda menyimpulkan bahwa budaya Indonesia bertolak belakang -- bukan sekadar berbeda -- dari budaya Amerika. Apakah memang begitu?

Dinda,
Soal kasus dengan judul "Pemerkosaan setelah menonton film porno", dalam ilmu logika ada satu kesalahan logika yang dikenal sebagai post hoc ergo proper hoc, yakni persepsi bahwa "karena A terjadi setelah B, maka A disebabkan oleh B".

Tentu ini tidak berarti bahwa pornografi tidak menyebabkan pemerkosaan. Ini hanya berarti bahwa kasus-kasus itu tidak membuktikan secara empiris bahwa pornografi menyebabkan pemerkosaan.

 
At 2/08/2007 10:58:00 AM, Blogger Bian said...

saya nggak bilang pornografi menyebabkan pemerkosaan kan? saya bilang, ada hubungannya antara pornografi dan pemerkosaan. yang jelas, pornografi mendukung keinginan manusia tersebut untuk melakukan pemerkosaan. ya nggak...?

 
At 2/10/2007 07:39:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

Dinda:
Anda menyebutkan ada hubungan antara pornografi dan pemerkosaan, tapi hubungan seperti apa yang Anda maksud? Ada dua jenis hubungan antar-dua-fenomena atau dua variabel: korelasi dan kausalitas.

Jika hubungan tersebut bersifat korelasi (dua variabel bergerak bersama namun tidak saling menyebabkan), maka upaya memperlambat pergerakan salah satu variabel tidak akan memperlambat variabel lainnya.

Contoh, harga gula dan harga beras di daerah terpencil. Kemungkinan harga kedua barang tersebut akan bergerak bersama. Ini, antara lain, karena kedua harga tersebut ditentukan oleh faktor ketiga yang sama, misalnya biaya transportasi. Dapat dikatakan bahwa ada korelasi antar-kedua-harga tersebut.

Namun, tentu saja upaya menekan harga beras (misalnya lewat operasi pasar beras) tidak serta merta akan menurunkan harga gula (dan sebaliknya), karena bukan harga beraslah penyebab harga gula. Tidak ada kausalitas antar-kedua-variabel itu.

Kembali ke komentar Anda: Jika menurut Anda pornografi tidak menyebabkan pemerkosaan maka, dalam konteks mengurangi pemerkosaan, maka seharusnya Anda tidak menyertakan variabel pornografi dalam wacana tersebut.

[NB: Studi ini menyiratkan adanya kausalitas, tapi kausalitas itu negatif. Jadi studi ini pun setuju adanya hubungan antara keduanya. Namun, seperti saya tuliskan di atas, hasil studi ini pun perlu ditafsirkan secara hati-hati]

 
At 3/06/2007 12:09:00 PM, Blogger hotradero said...

Saya pernah menulis blog tentang hal ini "Porn Up Rape Down".

Sekilas memang terasa counter intuitive, tetapi FAKTA memang menggambarkan sebagaimana disimpulkan oleh paper yang saya kutip. Jepang adalah konsumen materi pornografi terbesar di dunia -- tetapi memiliki tingkat perkosaan yang termasuk terendah di antara negara-negara maju. Sementara itu ada juga beberapa paper ilmiah yang membandingkan exposure pornografi di berbagai negara (Perancis, Jerman, Amerika dan Inggris) pasca PD II, dan ternyata semakin besarnya ketersediaan materi pornografi bersifat tidak linier terhadap tingkat kekerasan seksual.

Dan yang berlawanan dengan ini pun terjadi: Apakah negara Arab Saudi yang relatif "steril" terhadap materi pornografi - bebas perkosaan dan kekerasan seksual? Ternyata TIDAK.

Hipotesis sementara: Pemuasan imajinatif secara "self service" via ketersediaan materi pornografi mungkin berperan penting dalam menghindari paksaan pemuasan secara fisik. (Ada yang mau meneliti hipotesis di atas?)

Menganggap "orang Indonesia" sebagai pengecualian, menurut saya justru adalah sebuah penghinaan luar biasa... (apa dianggap sub-human?)

 
At 3/06/2007 01:00:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Poltak,
Belum tentu "orang Indonesia pengecualian" -- bisa saja artinya "orang Amerika (yang) pengecualian".

Ini demikian karena penarikan kesimpulan statistik (seperti yang muncul dari studi ini) lekat dengan populasi yang bersangkutan. Generalisasi di luar populasi yang relevan harus dilakukan secara hati-hati.

Untuk fenomena biologis (misalnya, dalam uji klinis obat-obatan), lebih mudah melakukan generalisasi karena manusia, secara biologis, cukup serupa. Namun untuk fenomena sosial, generalisasi di luar populasi relevan bisa menelurkan kesimpulan yang salah.

Pertanyaannya, dalam problem pornografi-cum-pemerkosaan aspek mana yang lebih dominan -- apakah biologis, atau sosial?

 
At 4/14/2007 11:41:00 AM, Blogger IRVANY IKHSAN said...

penelitian tersebut hanya belaku pada waktu terjadinya dan sampel itu saja, event studi.... ndak perlu diperdebatkan... namanya studi empiris tidak ada istilah benar yang ada tidak dapat menolak hipotesa, bukan berarti benar..

 
At 2/10/2008 12:19:00 AM, Anonymous Anonim said...

Sebenarnya, saat pertama melihat posting ini beberapa bulan lalu saya sudah pingin membantahnya, pakai metoda medis, tapi masih kurang bukti (tidak ada yang bisa saya tanya), karena kalau tidak ada itu, takutnya argumennya kurang kuat.

Setahu saya, kalau sex dapat mengakibatkan kesenangan maka ada kecenderungan untuk kecanduan. Otak merespon, mau minta lagi, atau istilah prokemnya nagih.

Kalau sudah nagih, tidak bisa di tahan, maka butuh akses ke pornografi. Di Amerika, akses ke pornografi mudah, bisa lewat playboy atau Internet, di Indonesia kan tidak. Karena kata Pak Arya, hubungan Pornografi dan Pemerkosaan sifatnya subsitusi, maka jika akses ke pornografi tidak di dapat maka alternatifnya adalah "main perempuan" (kalau punya uang) atau yang gratis: perkosaan. Kata guru Biologi waktu SMA saya juga, kalau nafsu meningkat, maka kesadaran menurun.

Berarti ada opsi untuk menghindari terjadinya pemerkosaan:

1. Memudahkan akses ke pornografi
2. Tidak sama sekali memberikan akses ke pornografi

Saya rasa, mereka yang radikal akan menggunakan alasan "ketimuran" dan kesopan santunan untuk mensukseskan opsi yang ke dua. Posting Pak Arya ini bisa jadi bumerang.

Sekali lagi, saya tidak bisa memberikan bukti empiris. Kalau pun salah, teman-teman yang baca tolong ya koreksinya.

 
At 2/10/2008 02:41:00 AM, Anonymous Anonim said...

Jadi, yang harus pak Arya simak adalah bahwa ada perbedaan antara Amerika Serikat dengan Indonesia, yaitu akses ke pornografi. Budaya juga sedikit banyak ada pengaruhnya terhadap sulitnya akses menuju pornografi di Indonesia. Internet juga sulit dijangkau karena mahal.

Saya rasa ada benarnya jika penelitian Todd Kendall tidak bisa diperlakukan sama di Indonesia.

 
At 2/11/2008 12:30:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

DVOMR:
Sebenarnya saya sendiri ragu implikasi kebijakan apa yang bisa ditarik dari temuan ini. Buat saya pribadi, ini menarik karena memaksa orang mempertanyakan sebuah klaim yang selama ini dipercaya tanpa bukti yang kuat.

Karena itu, alih-alih melompat ke usulan kebijakan (membuka atau menutup akses ke pornografi), mungkin yang dibutuhkan adalah studi empiris semacam ini di Indonesia untuk memahami fenomena kekerasan seksual berdasarkan bukti, bukan sekadar kumpulan hipotesis.

Perihal akses ke pornografi itu sendiri, seperti yang Anda bilang, agaknya alasan praktis seperti mencegah pemerkosaan bukan alasan utama politisi Indonesia ingin melarang pornografi. Karena alasan yang ada itu ideologis, mungkin akan sulit membuka perdebatan kebijakan yang rasional tentang hal ini.

 

Posting Komentar

<< Home