Optimalkah korupsi?
Hari ini rekan saya di CSIS, Ari A. Perdana, menulis bahwa korupsi itu mungkin optimal. Mungkin pada jangka pendek ― namun, seperti saya pernah tuliskan di sini dan sini, korupsi tidak pernah adalah opsi yang efisien. Secara khusus, tulisan ini menunjukkan salah kaprahnya argumentasi kedua yang Ari berikan, bahwa "korupsi bisa menjadi mekanisme seleksi pengusaha yang efisien." Lain waktu, akan saya bahas lebih jauh argumentasi Ari ini.
Label: korupsi
2 Comments:
Arya,
Studi empirical tentang korupsi itu nggak cuma satu setahu saya. Ada mauro, lalu kuncoro, dan yang lainnya. Dan hasil empiris itu pun sangat bervariasi. Ada yang bilang bahwa korupsi itu grease atau sand (kemudian terkenal dengan grease and sand hypothesis) Menurut saya, itu pasti karena ada country specific characteristics , seperti institusi, social, dsb. Dan sepengetahuan saya, hasil dari empirical analysis, hanya berlaku untuk data sets yang di gunakan.
Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana untuk kasus indonesia? Study oleh Kuncoro and Henderson (NBER ??) menunjukkan bahwa untuk indonesia, korupsi itu jelek.
Kembali ke topik awal, tulisan Ari Perdana (AP), mungkin saja untuk beberapa negara dapat terjadi optimal level of corruption.
Argumentasi yang lebih pas menurut saya adalah mengenai fungsi primitive (objektif) antara korupsi dengan investment/growth.Mungkin ini sangat teknical ekonomi/math. Tapi definisi optimal di ekonomi kan sangat teknical dan math.
Just my two cents.
Best
Ado
Ado,
Terima kasih untuk two-cents yang nilainya jauh lebih dari itu. ;-)
Tulisan AP mengangkat tiga argumen untuk menunjukkan kemungkinan bahwa korupsi itu optimal.
Dua yang pertama ― korupsi sebagai "pelumas" dan bahwa korupsi memilah antara pengusaha efisien dan tidak efisien ― secara implisit beranjak dari asumsi bahwa, dalam fungsi matematika produksi/pertumbuhan dan korupsi, ada daerah tertentu di mana hubungan keduanya positif.
Seperti komentar Anda, ini kemungkinan amat country-specific. Hubungan positif ini mungkin terjadi ketika birokrasi sedemikian buruknya sehingga nilai waktu yang dikorupsi birokrasi jauh lebih besar daripada biaya yang muncul dari korupsi. Dalam jangka pendek, analisis statis akan menunjukkan hubungan positif a la dua argumen pertama AP.
Dua masalah:
Pertama, seperti komentar Anda, studi Kuncoro dan Henderson (dan juga perkiraan saya) menunjukkan bahwa mungkin kedua argumen ini sudah tidak terlalu relevan untuk Indonesia. Seburuk-buruknya birokrasi Indonesia, terdapat cukup banyak kepentingan yang memaksanya bergerak tanpa korupsi.
Kedua, dalam jangka panjang, korupsi merusak sistem birokrasi dan membuat sistem itu tidak berdaya (a la studi Bertrand dkk. ini). Trade-off yang bisa dihitung studi-studi empiris yang ada sifatnya statis, bukan dinamis. Dari observasi umum pengalaman Indonesia serta pengalaman pribadi, agaknya biaya ini besar.
Masalahnya, kualifikasi ini tidak muncul dalam tulisan AP yang pembacanya adalah masyarakat awam yang tidak membaca studi Kuncoro-Henderson maupun studi Bertrand dkk.
Argumen ketiga, menurut saya, sedikit lebih pas (ini mirip dengan usulan Anda untuk melihat trade-off antara korupsi dan pertumbuhan). Dalam argumen ini, hubungan antara produksi/pertumbuhan negatif dengan korupsi, namun pemberantasan korupsi punya biaya.
Budget constraint dari biaya pemberantasan korupsi ini menciptakan umpan balik negatif, sehingga ada satu titik optimal ketika keuntungan marjinal dari berkurangnya korupsi sama dengan biaya marjinal pemberantasan korupsi. Kelemahan analisis ini adalah sifatnya yang statis. Becker berargumen bahwa secara dinamis, mungkin saja pemberantasan korupsi lebih mahal daripada keuntungan marjinal ― tapi lagi-lagi, ini pertanyaan yang harus dibuktikan secara empiris.
Secara umum, saya sebenarnya maklum dengan keinginan AP menunjukkan sudut pandang lain problem korupsi dan bahwa pemberantasan korupsi itu pun ada biayanya. Namun, dengan menggunakan argumen hipotetis-ilmiah yang tidak relevan (atau, setidaknya, tidak didukung bukti empiris Indonesia) tanpa kualifikasi, tulisan AP ini bisa menciptakan kesalahpahaman masyarakat awam tentang sifat dan karakteristik korupsi di Indonesia.
Posting Komentar
<< Home