Tentang amandemen UU Bank Indonesia
Mengingat reputasi DPR yang kerap mengklaim akan melakukan revisi UU namun kemudian mengabaikannya di tengah jalan, saya tidak terlalu khawatir dengan rencana Komisi XI melakukan amandemen UU Bank Indonesia (BI) ini:
JAKARTA, Kompas - Dewan Perwakilan Rakyat berencana mengajukan amandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Tujuannya, membuka kembali peran BI dalam menyalurkan kredit.
Namun, karena mood DPR kita sulit ditebak -- yang disangka guyon, ternyata serius, dan sebaliknya -- saya tidak akan menganggap remeh usulan ini. Apalagi usulan ini akan membuka celah politisasi ekonomi dan merugikan perekonomian nasional. Saya melihat sedikitnya tiga masalah...
Pertama, masalah pengalihan sumber daya dari tugas BI sebagai otoritas moneter. Mandat BI sebagai otoritas moneter boleh jadi relatif sempit -- menjaga stabilitas moneter, terutama inflasi -- namun luar biasa penting. Jika ceroboh, guncangan moneter punya dampak jangka menengah-panjang bagi ekonomi nasional. Mandat penyaluran kredit akan memaksa BI mengalihkan sumber daya dari tugas utamanya -- apalagi mengingat bahwa evaluasi kelayakan kredit butuh sumber daya yang besar.
Kedua, potensi konflik kepentingan. Mandat penyaluran kredit akan menciptakan konflik kepentingan pada pelbagai tataran dan akan merugikan kredibilitas BI sebagai otoritas independen yang tidak berpihak.
Pertama, konflik ini akan muncul dari implementasi ”dwifungsi” regulasi dan perbankan. Tugas baru ini akan diikuti dengan target. Upaya memenuhi target (apalagi di bawah tekanan politisi) akan mendorong munculnya konflik kepentingan antara peran BI sebagai institusi perbankan/penyalur kredit dengan perannya sebagai badan regulator perbankan nasional. Ini menggerus kredibilitas BI sebagai regulator perbankan nasional yang tidak berpihak.
Selain itu, dengan memberikan mandat yang keberhasilannya sulit diukur, DPR akan menarik BI ke pusaran politik. Tak seperti stabilitas moneter yang kesuksesannya mudah diukur, indikator keberhasilan penyaluran kredit tidak demikian gamblang – dan, kita semua tahu, ketidakpastian seperti ini akan memberikan ruang bagi manuver politik. Mandat baru ini memberikan kekuatan tawar baru bagi politisi untuk menekan BI (dan bukan hanya pada ranah penyaluran kredit, tetapi juga pada ranah lainnya) dan menggerus independensi BI.
Masalah ketiga adalah crowding out penyaluran kredit swasta. Dengan dwifungsinya sebagai regulator dan penyalur kredit, BI jelas memiliki keuntungan dibandingkan bank swasta jika dipaksa bersaing menyalurkan kreditnya. Hasilnya, bank swasta akan menyingkir dari sektor yang, oleh para politisi, ”diserahkan” kepada BI.
Ironisnya, sebagai penyalur kredit, BI tidak memiliki keunggulan komparatif dibandingkan bank swasta. Tekanan kompetitif dan tujuan komersial memaksa bank swasta untuk lebih hati-hati (dan lebih efisien) dalam menyalurkan kreditnya. Dua hal ini tidak dihadapi oleh BI. Alhasil, ujung-ujungnya, bisa jadi total kredit yang tersalurkan tidak meningkat, namun kredit (dan uang negara) malahan tersalurkan secara tidak efisien.
Usulan amandemen yang diusung Komisi XI DPR ini hanya akan meningkatkan kekuatan tawar para politisi dan kelompok kepentingan (bahkan individual) terhadap BI, dan meningkatkan akses mereka ke uang negara, tanpa meningkatkan ketahanan ekonomi nasional keseluruhan. Adalah ide baik ingin meningkatkan penyaluran kredit ke sektor usaha kecil dan menengah, namun ide baik ini menjadi amat buruk jika untuk itu, independensi BI (dan ketahanan ekonomi nasional) harus dikorbankan.
Label: ekonomi makro, moneter
1 Comments:
drajat wibiwo pernah bilang, jgn dimanademen krn nanti terulang lagi kasus dimana eksekutive memaksa BLBI keluar. untuk itu sdh tepat jika BI dibuat otonom. jika ini salah satu penyebab utama BI dibuat independen maka ada baiknya diselidiki dulu apa benar penyebabnya hal itu. jika bukan ada baiknya diamnademen, jika ya... pertahankan.
kenapa? jika sebenarnya BLBI keluar sbg akibat rekayasa sekelompok orang yg dgn menciptakan pemicu dgn menutup 16 bank atas saran IMF, sehingga menimbulkan rush yg kemudian dibesar2kan di media masa shg terjadi pembenaran bahwa BI harus independen maka bisa jadi berbahaya... ingat setelah BI independen, cadanan devisa langsung susut US$ 3 milyar... (ada dikoran dan di situs bapekki)... akibat hak otonom BI yg merubah teknik pelaporan cadangan devisa dari GFA ke IRFCL.... padahal jika kita lihat template asli dr IMF, perubahan tsb tidak membuat cadangan devisa susut, hanya perbedaan pengelompokan....
berbahaya, hanya sekejap negara rugi almost Rp. 30 trilyun... setealal itu BCA dijual, Danamon, BII... yg total2nya mendekati Rp. 30 trilyun juga... sgh yg menjadi pertanyaan... perubahan GFA ke IRFCL sebenarnya akal2an untuk mengalihkan bank2 tsb dgn cara gratisan??
coba deh telusuri kembali.... mudah2an sy salah.
lengkapnya ada di
http://offshorefinancialcentre.blogspot.com
Posting Komentar
<< Home