Selasa, Juli 18, 2006

Mengapa korupsi tidak efisien (bagian 2)

Tepat minggu lalu, “Babe”, seorang pengunjung entry ini menanyakan pendapat saya tentang ide bahwa korupsi meningkatkan efisiensi. Dia membandingkan membayar lebih untuk Surat Izin Mengemudi (SIM) dengan menjadi nasabah premium bank yang membayar lebih untuk menghindari antrean. Bukankah keduanya sama?

Di jawaban atas komentar tersebut dan di sini, saya menjelaskan alasan mengapa keduanya berbeda. Studi Bertrand, Djankov, Hanna, dan Mullainathan yang baru saya temukan hari ini memberikan bukti empiris kepada alasan teoretis tersebut.

Studi yang dibiayai International Finance Corporation (IFC) di New Dehli ini ingin memahami mekanisme korupsi yang terjadi dalam birokrasi. Secara prinsip, pertanyaan yang ditanyakan serupa dengan yang ditanyakan Babe: Apakah menyogok untuk mendapatkan SIM serupa dengan menjadi anggota Mandiri Prioritas, yakni membayar lebih demi menghindari antrean? Ataukah ada perbedaan antara keduanya?

Untuk itu, IFC mengikuti 822 pendaftar SIM dan secara acak memasukkan mereka ke dalam tiga kelompok: (i) kelompok bonus yang mendapatkan uang yang besar jika dia berhasil mendapatkan SIM dalam waktu singkat; (ii) kelompok les gratis yang diberikan les mengemudi gratis segera setelah mereka menyatakan akan berpartisipasi dalam studi ini; dan (iii)kelompok perbandingan yang diminta untuk sekadar ikut dalam studi ini untuk mewakili pendaftar kebanyakan.

Mereka yang di kelompok bonus dapat dianalogikan sebagai nasabah premium yang, karena satu atau lain hal, rela membayar untuk menghindari antrean SIM. Seperti yang bisa ditebak, para nasabah premium ini 20% lebih mudah mendapatkan SIM dibandingkan pendaftar kebanyakan, dan mendapatkannya 40% lebih cepat. Inilah bukti untuk argumen bahwa korupsi meningkatkan efisiensi: Bahwa yang amat membutuhkannya bisa mendapatkannya dengan membayar lebih.

Namun, ”efisiensi” ini memiliki biaya. Biaya pertama adalah biaya sosial: Korupsi menyebabkan dikeluarkannya SIM bagi banyak pendaftar, 69% dari kelompok bonus, yang tidak bisa mengemudi. Meskipun ada ”efisiensi” secara individu bagi kedua pihak dari "perdagangan ilegal" antara si pendaftar dan birokrat yang memberikan izin, muncul biaya sosial yang harus ditanggung oleh para korban kelalaian mengemudi para ”nasabah premium” ini. Korupsi merusak fungsi utama pemberian SIM, yakni memastikan hanya pengemudi yang mampulah yang ada di jalan raya.

Biaya kedua, seperti yang pernah saya ungkapkan di jawaban saya pada Babe, muncul dari monopoli birokrasi atas kekuasaan mengeluarkan izin. Birokrasi akan menaikkan biaya mendapatkan SIM demi keuntungan pribadinya.

Menariknya dalam studi ini, sogokan tidak pernah secara langsung diberikan ke birokrat dalam lembaga penerbit SIM melainkan lewat calo. Pertanyaannya, jika pendaftar tidak bisa langsung menyogok birokrat, bagaimana cara birokrat meningkatkan biaya mendapatkan SIM untuk kepentingan pribadinya?

Jawabnya: Dengan secara sengaja membuat para pendaftar gagal pada tes pertama mereka sehingga mereka harus membuang waktu mengambil tes lagi – atau, yang umumnya terjadi, akhirnya memilih menggunakan calo. Dalam studi ini, sekitar 35% dari mereka yang awalnya mencoba lewat ”jalur yang benar” dengan mengambil tes gagal, terlepas dari keahlian mereka mengemudi. SIM yang terbit lebih sedikit daripada yang seharusnya.

Saya menganjurkan Anda membaca studi minim persamaan matematika ini. Setidaknya, jika lain kali ada orang yang mengusulkan bahwa korupsi itu meningkatkan efisiensi, Anda bisa langsung menjawab, ”Sudah baca belum studi Bertrand, Djankov, Hanna, dan Mullainathan tentang korupsi dalam mengambil SIM di India?...”

Update (19/7/06): Bagi yang tidak dapat mengakses situs NBER, makalah yang sama dapat di-download di sini

Label: