Senin, Maret 26, 2007

Memahami korupsi (1 dari 2)

Rabu lalu, Ben Olken membahas pelbagai penelitian mikro tentang korupsi dalam seminar ini. Presentasi dia memaparkan sebuah kerangka pikir yang saya pikir menarik tentang korupsi. Berikut sekilas presentasi tersebut...

:
  • Asal-usul korupsi:
    • Korupsi terjadi ketika ada pembatasan atau aturan tentang transaksi antar-dua pihak. Misalnya, dalam pengadaan surat izin mengemudi (SIM). Di satu pihak, ada orang yang menginginkan walaupun tidak bisa mengemudi; di lain pihak, ada penyedia SIM yang akan dengan senang hati "menjual" SIM pada orang tersebut andai saja tidak ada persyaratan tentang hak mendapatkan SIM. Jika aturan ini dihapuskan, tidak ada korupsi!
    • Mengapa tidak kita hapuskan saja aturan atau pembatasan tersebut sehingga para birokrat itu dapat menjual lisensi -- seperti SIM, izin mendirikan bangunan (IMB), atau sertifikat emisi pabrik -- tersebut? Ada sedikitnya tiga alasan:
      • Pemerasan: Petugas akan mencari-cari kesalahan agar "pembeli" membayar semahal-mahalnya untuk lisensi tersebut.
      • Alokasi yang salah: SIM diberikan kepada orang yang membayar paling tinggi, bukannya orang yang paling mampu mengemudi.
      • Penundaan/harassment: Pengawas emisi datang setiap hari untuk memaksa membayar lisensi tersebut.
    • Aturan atau batasan atas transaksi-transaksi seperti ini mengurangi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang seperti di atas, namun penyalahgunaan tersebut tetap terjadi -- dan inilah yang disebut korupsi.
    • Hal-hal tersebut terjadi, namun umumnya tidak menjadi masalah di sektor swasta -- mengapa? Mengapa sektor pemerintah unik?
    • Sektor pemerintah unik karena tujuan pemerintah tidak sekadar memaksimalkan keuntungan:
      • Regulasi: Bagi pemerintah, punya uang tidak berarti berhak memiliki SIM.
      • Redistribusi: Pemerintah memberikan subsidi (misalnya, beras miskin atau klinik kesehatan) karena orang miskin tidak mampu membayar harga pasar.
    • Tarik-menarik antara tujuan profit dan non-profit inilah di balik problem korupsi. Tidak ada solusi mudah untuk itu.
  • Biaya sosial korupsi:
    • Biaya sosial korupsi bukanlah nilai uang suap atau uang yang dicuri-- ini sekadar transfer antar-dua pihak.
    • Biaya sosial korupsi adalah hal-hal seperti:
      • Kegagalan regulasi: Ketika perusahaan dapat terus mencemari udara/air tanpa dihukum.
      • Alokasi yang tidak tepat: Rumah sakit umum yang menekankan pelayanan pada yang paling punya uang, bukan yang paling membutuhkan.
      • Kegagalan redistribusi: Beras miskin sebagian dijual ke orang kaya sehingga orang miskin hanya mendapatkan sedikit.
      • Keterlambatan/ harassment: Pencari izin yang dilempar dari satu pejabat ke pejabat lain.
      • Kegagalan mobilisasi sumber daya: Pajak yang tidak dipungut.
      • Kualitas kerja atau pelayanan yang buruk: Mengurangi kualitas agar ada uang yang bisa dikorupsi.
      • Strategi penundaan birokrat: Tidak mau mengerjakan tugas atau pekerjaannya (kecuali dia mendapatkan uang suap)
bersambung...

Label: ,

5 Comments:

At 4/05/2007 05:02:00 PM, Anonymous Anonim said...

Kenapa korupsi di pemerintahan merajalela? Sementara di sektor swasta frekwensinya jauh lebih rendah (bukan berarti tidak ada).

Kalau dibilang karena tugas pemerintah bukan hanya mencari keuntungan, saya belum melihat bagaimana pengaruhnya. Kedua sektor ini yang jelas mempunyai principal-agent problem.

Keuntungan yg diperoleh perusahaan bukan berarti keuntungan dari si karyawan, begitu juga di pemerintahan.

Contoh. Ketika seorang nasabah asuransi mengajukan klaim asuransinya atas kerusakan mobilnya, dia harus meyakinkan karyawan asuransi bahwa kerusakan itu memang ditanggung dalam polis yg dipunyai. Disini sebenarnya terbuka peluang bagi si nasabah untuk menyuap karyawan tadi dan mendapatkan asuransinya dengan mudah.

Tetapi karyawan dari perusahaan asuransi yang bagus biasanya akan menolak suap tersebut. Padahal toh kalau diterima kerugian bukan dia yang menanggung.

Hal yang sama juga terjadi di pemerintahan.

Mungkin yang membedakan adalah sistem pengawasan. Perusahaan asuransi sudah mengetahui dimana aksi suap-menyuap akan sering terjadi. Dan mereka mempersiapkan sistem pengawasan khusus di bagian itu.

Sementara di pemerintahan, entah karena pemerintah memang tidak mengetahui bagian mana yang riskan akan korupsi (bodoh banget sih), atau memang membiarkannya.

 
At 4/05/2007 05:36:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Yose,
Korupsi di sektor publik terjadi karena lemahnya sinyal yang berasal dari keuntungan.

Mengambil contoh elu, korupsi pada perusahaan asuransi akan didisiplin oleh kompetisi pasar: Perusahaan yang tidak mampu mengendalikan pencurian dari karyawan akan kalah bersaing.

Disiplin pasar inilah yang mendorong perusahaan asuransi berusaha keras mengidentifikasi sumber "kebocoran". Caranya?

Lagi-lagi, sinyal keuntungan yang bermain: Problem pasti berasal dari divisi atau kantor cabang yang kinerja keuntungannya buruk. Sinyal dari keuntungan bekerja pada beberapa tataran untuk menangani problem principal-agent.

Sementara, di sektor publik sulit menciptakan sinyal keuntungan, karena sifat monopoli dan "multi-tujuan" birokrasi pemerintahan. Karena keuntungan bukan motivasi satu-satunya -- "efisiensi anggaran" punya pelbagai makna bagi birokrat -- akuntabilitas setiap "divisi" atau "kantor"-pun sulit dievaluasi, sehingga kesempatan korupsi pun jauh lebih besar.

 
At 9/07/2007 07:55:00 PM, Anonymous Anonim said...

Arya yang baik,

mana lebih korup, bagian pengiriman surat atau penerimaan surat di kantor pos? bagian pemberian kredit atau penerimaan uang (mis: teller) di bank?

Korupsi bisa mengambil ragam bentuk dan kadar berbeda dalam bahkan satu (yang terdefinisi sebagai) unit pengorganisasian yang sama. Ini memaksa pemerhati, agar melihat relasi agen-prinsipal lebih cermat dalam terang, misalnya, struktur insentif. Arya tahu benar, Olken bersinggungan banyak dengan riset (eksperimental) yang "tabu" dengan generalisasi, mengingat treatment (dan konteks) kebijakan yang berbeda mungkin berujung dihasil yang tidak sama. (lag waktu, target kelompok, eksekutor, kadar informasi, preferensi agen dan evolusi norma, dll.).

Hal lain, pendekatan Arya ekonomis. Ini absah. Jadi soal bila pendekatan itu hendak menjelaskan hal di luar medan ini atau untuk hal yang bersinggungan dengan medan lain, semisal pokok governance. Disini, bagaimana menjelaskan posisi Arya (juga tulisan Ari Perdana soal "optimalisasi" korupsi di Kompas) - bahwa pasar mendisiplinkan laku korup - di kenyataan Indonesia? Mengapa kita tidak lebih tidak korup meski Indonesia telah semakin liberal, mengikuti idealisasi liberalisasi pasar? Ada baiknya menimbang pendapat Robison dan Hadiz dalam "Reorganizing power in Indonesia" sebagai satu kemungkinan penjelasan.

Salam,
Maesa Latimeria

 
At 9/07/2007 09:44:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Maesa:
Pertama, korupsi hanya terjadi dalam konteks relasi antara pejabat publik-non publik (termasuk LSM dan ormas). Di luar ranah publik, proses 'transaksi' ilegal masuk kategori pencurian dan diatur secara jelas oleh hukum.

Mengapa yang swasta lebih jelas? Seperti jawaban saya ke Yose di atas, swasta cenderung lebih mudah 'mendeteksi' pencurian karena adanya sinyal keuntungan tadi.

Kedua, pendekatan penanganan korupsi di sini bukan sekadar pendekatan ekonomi, tapi pendekatan ekonomi mikro. Artinya, generalisasi harus dilakukan secara hati-hati.

Pada prinsipnya, kita perlu melihat problem secara spesifik lalu menerapkan 'liberalisasi' (atau pergerakan ke arah pengunaan mekanisme pasar) jika keuntungan marjinal dari liberalisasi melebihi kerugian marjinal dari eksternalitas positif intervensi pemerintah. Tidak semua masalah korupsi bisa diselesaikan oleh mekanisme pasar, tapi ada satu 'kelas' masalah korupsi (misalnya regulasi berlebihan di sektor-sektor seperti pertanian) yang bisa ditangani olehnya.

Ketiga, saya bukan peneliti ekonomi korupsi atau pun ahli politik, sehingga saya tidak bisa mengevaluasi pernyataan umum bahwa "kita tidak lebih tidak korup meskipun kita lebih liberal". Namun tanpa data, saya sedikit skeptis terhadap kedua komponen pernyataan ini: bahwa 'kita tidak lebih tidak korup' maupun 'kita lebih liberal'.

Namun, lagi-lagi, logikanya (dan ini bukan logika ekonomi tetapi logika yang diturunkan dari definisi korupsi) jelas: Korupsi adalah pelanggaran kontrak (bernama regulasi) yang dibuat pemerintah demi kebaikan umum. Tanpa regulasi, tidak ada korupsi. Namun, seperti saya sudah singgung di atas, ini tidak serta-merta berarti masyarakat lebih baik karena regulasi pun punya kegunaannya sendiri bagi kepentingan umum.

 
At 5/13/2008 04:12:00 PM, Anonymous Anonim said...

salam kenal mas.. aku link blognya ya..
soal korupsi.. saya lebih senang kalo dibilang korupsi sekarang berkurang. minimal saya melihat di sekitar saya yang bekerja di Kantor Pajak.
yang ada adalah keterbukaan informasi, dimana dengan adanya reformasi kita dikagetkan dengan banyaknya berita tentang korupsi. media yang semakin bnyak dan pengawasan publik telah membuat setiap kantor (yang terindikasi korup) tidak mampu menyumpal mulut penyaji informasi. akibatnya tertulis dan terbaca bahwa korupsi semakin banyak.
korupsi mengecil pak.. sekarang setiap orang ingin mendapat bagian sehingga bagiannya menjadi lebih kecil. bahkan dari pada di korupsi mending sama-sama gak kebagian.
korupsi mengecil pak.. dengan adanya desentrasilasi maka pusat tidak bersikap seperti raja lagi, daerah punya keleluasaan bertindak yang mengakibatkan pusat semakin tidak mampu mengorupsi dana yang dikirim ke daerah.
korupsi makin kecil pak.. terbukti semakin banyaknya rakyat (yg berteriak menjadi) miskin. tanda negara korup adalah korupsi menggerakkan sektor perekonomian. dan sektor perekonomian yang digerakkan oleh korupsi semakin seret.
korupsi semakin kecil pak.. minimal saya sudah lama gak melihat dan melakukan budaya korupsi. jaman jahiliyah sudah berakhir bagi kami. dan jaman syariah sekarang yang sedang kami jalani.
selamat berkorupsi.. kasian deh loe dah gak kebagian lagi.

 

Posting Komentar

<< Home