Selasa, September 05, 2006

Masalah (tidak transparannya) garis kemiskinan TIB

Teori konspirasi, gosip, rumors – ini semua memang selalu menarik. Betapa tidak! Dengan teori konspirasi, ada ilusi bahwa kita mendapatkan penjelasan yang 'lebih' daripada yang sebenarnya. Kadang, bahkan, penjelasan sebenarnya menjadi tidak penting lagi.

Namun, ilmuwan – dan ekonom seharusnya adalah ilmuwan – punya tanggung jawab untuk tidak menyebarkan informasi yang tidak benar. Metode yang biasanya dilakukan ilmuwan adalah dengan memaparkan metode yang dipakai untuk mengambil sebuah kesimpulan, atau dalam mengkritik ilmuwan lainnya, menunjukkan metode yang dipakai untuk mendapatkan kesimpulan berbeda.

Inilah masalahnya dengan tuduhan Tim Indonesia Bangkit (TIB). Usai menerbitkan angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada angka Badan Pusat Statistik (BPS), lalu (melalui Iman Sugema) menuduh BPS terlibat konspirasi, TIB-pun tidak pernah menjelaskan asal-usul angka-angka estimasinya itu.

Seperti yang saya katakan, teori konspirasi menarik. Dan dengan sekilas melihat dan mencocok-cocokkan fakta, mudah sekali untuk dibuat. Soal ini, misalnya. Dalam teori konspirasi saya, TIB sebenarnya tidak pernah menghitung sendiri garis kemiskinan. Ekonom-ekonom TIB bukanlah ekonom mikro yang sehari-hari bergelut dengan data rumah tangga yang bernama Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), melainkan ekonom makro.

Alih-alih menghitung sendiri, dalam teori konspirasi saya, estimasi ekonom TIB sebenarnya hasil utak-utik 'bocoran' angka kemiskinan yang didapatkan dari orang dalam BPS. Namun, sialnya, angka tersebut belum angka resmi. Ketika angka resmi itu muncul, TIB pun kebingungan meresponsnya. Ini tercermin dari jawaban Iman pasca diterbitkannya angka resmi BPS:
"Padahal, pada kondisi normal, garis kemiskinan adalah 1,3 kali inflasi. Jadi, garis kemiskinan yang harus digunakan adalah Rp 159.000 per kapita per bulan sehingga jumlah penduduk miskin bisa mencapai 45,9 juta jiwa atau 20,6 persen dari jumlah penduduk. Angka ini lebih mendekati penerima raskin yang dianggarkan Bulog 50 juta jiwa," katanya.

Bandingkan angka ini dengan klaim awal di sini (22,6 persen) dan yang disalin dari press release TIB di sini (22,9 persen). Metode yang dipakai mendapatkan angka baru ini pun (garis kemiskinan 1,3 kali inflasi?) tidak ilmiah.

Tapi ini adalah teori konspirasi, dan sama seperti teori konspirasi lainnya, janganlah terlalu diambil hati. Selama masih sekadar teori, teori konspirasi adalah harmless fun.

Masalahnya, orang menanggapi teori konspirasi TIB secara serius, mungkin karena dianggap muncul dari sumber yang kredibel. Tulisan ini dan ini, misalnya, menyebarluaskan tuduhan bahwa angka yang ada sekarang adalah hasil intervensi politik. Dan, karena teori konspirasi itu seksi, jangan heran kalau teori inilah yang nantinya dianggap kebenaran.

Sebagai ekonom, yang terakhir inilah yang mengkhawatirkan. Semua peneliti ekonomi yang pernah menggunakan data BPS tahu, BPS bukanlah badan statistik yang sempurna. Umumnya, masalah yang para peneliti ekonomi hadapi lebih bersifat kompetensi teknis daripada kejujuran. Namun, masalah menjadi rumit ketika BPS dianggap tidak jujur dan independen. Politisi bisa memanipulasi anggapan (yang tidak jelas kebenarannya ini) untuk mengusung kebijakan populis yang tidak didukung data yang ada.

Sebenarnya, ada jalan keluar dari dua teori konspirasi ini. Kita kembali ke jalan ilmuwan. Buka tabir misteri di balik angka-angka ajaib kemiskinan, dan biarkan publik dan ilmuwan sosial lainnya meneliti dan menelaah metodologi tersebut. Kontroversi baru akan muncul, namun setidaknya akan lebih berkualitas. Ini berlaku bukan saja untuk BPS, tetapi juga TIB yang garis kemiskinannya, ternyata, sama tidak transparannya dengan garis kemiskinan BPS.

Lihat juga: Masalah (tidak transparannya) garis kemiskinan BPS

Label: ,

5 Comments:

At 10/03/2006 02:10:00 PM, Anonymous Anonim said...

Bung, inflasi yang dihadapi orang miskin itu dua kali inflasi nasional pada tahun 2005 (Ini sumbernya resmi dari penelitian BPS dan ADB. Anda cobalah find out hasil penelitian itu ke sana). Itulah kenapa Iman Sugema menyatakan garis kemiskinan naik 1,3 kali. Anda tentu ngerti kan 1,3 kali itu naik 30%(inflasi 2005 17,1%). Ini Iman Sugema yang tidak ilmiah atau anda yang kurang gaul?

 
At 10/03/2006 04:06:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Bung Julian,

Sabar bung. Saya memang tidak paham (dan tidak berhasil menemukan) studi ADB/BPS yang Anda maksud -- mungkin Anda mau berbaik hati menunjukkan link-nya.

Tapi, karena kita bicara garis kemiskinan BPS, mungkin ada baiknya kita tinjau garis kemiskinan BPS. Kebetulan, seorang teman memiliki data indeks harga konsumen (IHK) nasional sekaligus data garis kemiskinan perkotaan dan pedesaan versi BPS.

Dengan format [inflasi Februari-Februari | % kenaikan garis kemiskinan perkotaan | % kenaikan garis kemiskinan pedesaan], inilah yang saya temukan:

2002-2003: 4,6% | 6,4% | 9,7%
2003-2004: 7,2% | 3,4% | 2,7%
2004-2005:17,9% | 5,1% | 7,8%

Saya memilih Februari karena pada bulan itulah Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas), yang digunakan menghitung garis kemiskinan, dilakukan.

Kita bisa saja memperdebatkan kesahihan metodologi penghitungan garis kemiskinan BPS. Namun, jangan lupa bahwa tuduhan yang dimunculkan Iman adalah bahwa garis BPS pada tahun 2006 dimanipulasi demi kepentingan pemerintah. Hubungan antara inflasi dan naiknya garis kemiskinan BPS di tahun-tahun sebelumnya menunjukkan, tuduhan tersebut (serta klaim bahwa garis kemiskinan BPS 2006 "seharusnya" naik 1,3 kali) tidak berdasar.

 
At 10/05/2006 12:02:00 PM, Anonymous Anonim said...

Let say Bung Arya mendefinisiakn diri sebagai orang miskin. Trus inflasi yang Bung Arya terima (secara pribadi) adalah 100 persen pada 2005. Agar Bung Arya tidak jatuh lebih miskin, pendapatan Bung Arya harusnya naik minimal 100 persen dong. Right? Itu artinya batas kemiskinan versi Bung Arya pribadi telah naik 100 persen.

Jika bung Arya setuju dengan contoh di atas, pertanyaan lanjutannya, apakah Bung Arya yakin inflasi yang dihadapi orang miskin lebih rendah daripada orang kaya pada saat BBM naik kemarin? Tidak perlu dijawab, Anggap saja sebagai pertanyaan untuk menchallenge logika berpikir Bung Arya.

Intinya begini lah. Untuk menganalisa ekonomi tidak cukup hanya dengan mengumpulkan dan menerima begitu saja data BPS dll, lalu kemudian diinterpretasikan secara sederhana untuk menarik kesimpulan. Jika itu yang dilakukan, semua orang juga bisa menjadi ekonom. Go behind the data. Itu saya pikir yang membuat Iman berani menarik kesimpulan sendiri. Anda sendiri rasanya cukup naif dengan seakan-akan berasumsi bahwa Pemerintah dan lembaganya adalah malaikat yang berhati mulia.

 
At 10/06/2006 07:53:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

Bung Julian,
Apakah mungkin inflasi yang dihadapi orang miskin lebih rendah (atau setara) dengan inflasi umum? Jawabannya, jelas ya.

Mudah saja mengilustrasikan ini: Jika pemerintah secara tiba-tiba menerapkan tarif 200% untuk seluruh barang elektronik dengan harga jual di atas Rp.500.000, maka inflasi umum akan naik secara drastis. Apakah kemudian inflasi orang miskin naik sebesar inflasi umum?

Jawabannya: jelas tidak karena orang miskin tidak mengkonsumsi barang-barang elektronik tersebut.

Intinya, selama harga yang naik adalah harga-harga barang yang bukan menjadi konsumsi orang miskin, tidak ada alasan bahwa inflasi yang dihadapi serta merta harus lebih tinggi daripada inflasi umum.

Apakah mungkin inflasi orang miskin lebih rendah daripada inflasi orang non-miskin pasca-kenaikan BBM? Ya.

Mayoritas orang miskin Indonesia ada di sektor pertanian dan tinggal di pedesaan, kemungkinan besar dengan mobilitas terbatas. BBM (di luar minyak tanah) mendominasi konsumsi orang non-miskin. Maka, kenaikan harga yang dihadapi orang non-miskin secara rata-rata pasti lebih tinggi.

Mungkin ada baiknya ada baca baik-baik laporan tingkat kemiskinan dari BPS dan coba mengerti logika di balik penghitungan garis kemiskinan tanpa a priori.

Sebagai ekonom, saya bekerja berdasarkan data (dan makanya, saya meminta link laporan ADB/BPS, yang masih saya tunggu lho...) dan teori. Menganggap pemerintah dan BPS malaikat? Tentu tidak -- silakan lihat posting ini (dan banyak posting sebelumnya).

Tapi, saya pun tidak lalu menganggap segala sesuatu yang kontroversial dan anti-pemerintah itu benar -- saya akan menimbang bukti. Karena sama seperti pemerintah dan BPS, para kritik (seperti Iman dan juga saya) pun bukan malaikat.

 
At 8/05/2019 05:24:00 AM, Blogger osm18 said...


porn

 

Posting Komentar

<< Home