Senin, September 04, 2006

'Kontroversi' penghitungan tingkat kemiskinan

Kontroversi penghitungan tingkat kemiskinan bukan monopoli orang Indonesia. Di Amerika, ini pun masih menjadi kontroversi di kalangan ekonom. Bedanya, alih-alih sekadar kontroversi politis, para ekonom lebih sering memicu 'kontroversi' (ilmu) ekonomi. Dan 'kontroversi' teknis seperti ini mendapat tempat dalam media Amerika.

Satu kontroversi menarik, misalnya, yang dimuat Gregory Mankiw dalam blog-nya di sini adalah tentang indikator terbaik mengukur kemiskinan: Penghasilan atau pengeluaran? Kemiskinan (atau kesenjangan) penghasilan punya makna yang berbeda dari kemiskinan pengeluaran, seperti ditunjukkan oleh penelitian ini. Keduanya bisa sahih, tergantung kebutuhan.

Setidaknya ada dua hal menarik dari wacana serta penelitian yang dikutip dalam posting Mankiw ini.

Pertama, penghitungan tingkat kemiskinan bukan monopoli badan resmi statistik. Selama bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis, perhitungan 'tandingan' sah-sah saja. Alih-alih melukai kredibilitas badan resmi, perhitungan tandingan – selama metodenya dipaparkan secara transparan – justru memperkaya yang resmi.

Kedua, kualitas wacana ekonom(i) Indonesia memang belum dewasa. Bandingkan saja kritik terhadap perhitungan tingkat kemiskinan ini, dari Kompas hari ini:
Iman [Sugema] mengatakan, tingkat kemiskinan 17,75 persen itu pun belum juga mencerminkan kondisi riil. Beberapa hal "ajaib", antara lain persentasenya mirip angka inflasi kumulatif Februari 2005 sampai Maret 2006 sebesar 17,92 persen dan terlalu dekat dengan kenaikan garis kemiskinan 18,39 persen.

"Padahal, pada kondisi normal, garis kemiskinan adalah 1,3 kali inflasi. Jadi, garis kemiskinan yang harus digunakan adalah Rp 159.000 per kapita per bulan sehingga jumlah penduduk miskin bisa mencapai 45,9 juta jiwa atau 20,6 persen dari jumlah penduduk.

Dengan kritik ini, dari blog Mankiw hari ini:
[The] Census omits the income from the EITC when computing the poverty rate. As a program to reduce measured poverty, the program is, by assumption, doomed to failure.

Of course, this is not really a problem with the EITC but, rather, a problem with the measured poverty rate. It makes no sense to evaluate poverty with a statistic that ignores the effects of one of the largest and most rapidly growing anti-poverty tools we have. But that is what the official statistics do.

The EITC is one reason why many low-income families consume more than they earn (a fact pointed out in the previous post). Government policymakers need to take a long, hard look at how poverty is measured.

Anda lihat perbedaannya? Kalau di satu pihak Iman mengkritik "angka ajaib" BPS dengan "angka ajaib"-nya sendiri (1,3 kali inflasi – tapi mengapa 1,3? Mengapa bukan 1,2? Atau 1,4?) tanpa meninjau metodologi yang dipakai BPS, Mankiw langsung menunjukkan kesalahan metodologis penghitungan tingkat kemiskinan.

Iman tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Di satu pihak, akar masalah adalah bahwa BPS tidak mau (mampu?) transparan menjelaskan metodologi penghitungan garis kemiskinannya. Tapi, di lain pihak, Iman (dan Tim Indonesia Bangkit-nya) melakukan kesalahan yang sama dengan menerbitkan angka tingkat kemiskinan yang asal-muasalnya sama tidak jelasnya.

Satu pihak lagi yang punya andil dalam kerancuan ini adalah para wartawan. Alih-alih sekadar melaporkan, sudah waktunya wartawan lebih kritis jika disodori angka seperti ini, baik oleh ekonom maupun oleh badan resmi statistik. Prinsipnya: Jangan percaya (angka) yang tidak Anda mengerti! Atau, mengutip Mankiw, "journalists need to report the official statistics with a healthy dose of caveats."

Label: ,