Senin, September 04, 2006

Daerah menolak impor beras?

Halaman 15 Kompas terpampang dengan headline besar diikuti berita seperempat halaman: Daerah Menolak Beras Impor. Paragraf pertama:
Mayoritas wilayah di Jawa yang selama ini menjadi sentra produksi beras menolak masuknya beras impor ke wilayah mereka. Alasan pedagang, selain pasokan masih cukup aman, mereka khawatir masuknya beras impor akan memicu jatuhnya harga jual beras yang bisa berdampak terhadap ekonomi petani.

Sementara, di halaman 23, dengan headline yang font-nya tak sampai setengah yang di atas dan dengan berita hanya seperempatbelas halaman: 122 Daerah di Indonesia Rawan Pangan. Paragraf pertama:
Sebanyak 122 kabupaten/kota masuk kawasan rawan pangan karena sebagian besar warganya tidak mampu memenuhi 70 persen angka kecukupan gizi harian. Kemiskinan yang kronis dan kemiskinan akibat bencana alam menyebabkan mereka tidak mampu membeli pangan dalam jumlah memadai untuk seluruh anggota keluarga

Inilah salah satu peninggalan kebijakan Orde Baru: kebijakan bias Jawa. Ukuran kolom Kompas mencerminkan bias ini: Perhatian terhadap kepentingan daerah rawan pangan – yang berhubungan langsung dengan harga beras – jauh lebih sedikit daripada kepentingan daerah sentra produsen beras, meskipun yang pertama jauh lebih membutuhkan. Adilnya, wartawan Kompas perlu juga bertanya pada warga di daerah rawan pangan (di luar Jawa) apakah mereka setuju kebijakan impor beras yang menurunkan harga beras.

Label:

5 Comments:

At 9/10/2006 08:40:00 AM, Anonymous Anonim said...

Arya,
Gw coba argumen lain ya soal impor beras. Pertama, menyangkut artikel JakPost soal petani beras yang 'hanya' 25 % dari penduduk, itu sebenarnya angka yang amat besar. Data Podes 2003 BPS-yang dijadikan patokan untuk sensus pertanian ternyata menunjukkan bahwa persentase penggarap sekaligus pemiliki rata-rata diatas 50 persen di pulau jawa (berkisar antara 60-75%). Persentase buruh tani justru kecil.

Kedua, sepakat kalo impor akan menekan harga konsumsi dan ini sebenarnya memang mengungtungkan petani (net consumers or net producers sekalipun). Karena penurunan harga beras lebih cepat daripada penurunan harga gabah-karena formasi harga gabah umumnya terjadi pada saat sebelum panen dan panen dan bukan pada saat impor. Jadi, penurunan harga tidak serta merta menurunkan tingkat pendapatan petani, dalam jangka pendek.

Tapi, harga gabah yang akan datang ditentukan oleh harga gabah yang lalu dan tingkat ekspektasi si pengumpul atas kemungkinan adanya impor dan jatuhnya harga beras. Informasi yang asimetris menekan tingkat harga petani. Jangka panjang ini cenderung menekan pendapatan mereka.

Ketiga, ekosistem yang unik. Tanah dijawa secara historis cenderung mono-crop dan food crop. Perubahan harga output-beras, semestinya diikuti dengan penyesuaian penggunaan input yang bisa menghasilkan value output yang lebih tinggi. Tapi ini amat sangat sulit karena ekosistem tidak mungkin mendukung tanaman selain food crop. Artinya shifting dalam pemanfaatan tanah- input tidak serta merta terjadi akibat perubahan nilai output. Belum lagi sistem pertanian dan pembeelajaran petani yang cenderung risk-averse dan enggan mencoba hal baru. Jadi gue agak ragu bahwa penyesuaian harga mendorong ke arah pareto optimal.

Keempat, mobilitas pekerja dari pertanian ke industri terbatas. dan sumber pendapatan petani, lebih dari 50 persen (gue tau pas ngerjain kakao) berasal dari pertanian. Artinya kalo tekanan harga output tidak diikuti dengan perubahan input dan keterbatasan mobilitas tenaker, dalam jangka panjang pendapatan mereka tertekan.

Artinya dalam jangka panjang, daya beli beras petani mungkin meningkat. Tapi pilihan2 konsumsinya menjadi amat terbatas-karena terbatasnya income. Ini terjadi bagi petani di Jawa.

Tapi bagi penduduk luar jawa, dalam jangka pendek maupun panjang, restriksi perdagangan beras menurunkan tingkat kesejahteraan mereka amat signifikan-karena itungan gw menunjukan permintaan beras yang inelastis-positif malahan di luar jawa.

Jadi memang agak kompleks dari yang kita bayangkan. Tapi memang untuk sementara impor bisa menyeselaiskan masalahnya. Atau mungkin kembali ke sistem tarif yang lebih transparan dan mengurangi rente dan tekanan politik seputar beras. Diversifikasi pangan-dalam jangka panjang-mungkin bisa menyeselaikan juga...

Itu hipotesis gue,..mungkin salah ;)

 
At 9/10/2006 02:11:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Yudo,

Argumen di atas (yang, kalau disarikan, intinya adalah bahwa komunitas petani Jawa dirugikan oleh kebijakan impor) sama sekali tidak menyanggah argumen untuk kebijakan impor beras: Yakni bahwa kebijakan itu pro-warga miskin.

Sekitar 15% buruh tani (pekerja pertanian termiskin) itu kemungkinan besar seluruhnya berada di bawah garis kemiskinan, dan kesejahteraannya akan tertolong oleh kebijakan impor beras.

Argumen elu, petani terlalu risk averse dan sulit melakukan penyesuaian. Tapi kenyataan bahwa mereka sulit menjual beras pada harga yang kompetitif menunjukkan ada masalah efisiensi.

Perhitungan risiko dipengaruhi biaya kesempatan dari keputusan tidak mau berubah. Tekanan harga pasti mempercepat terjadinya penyesuaian menuju efisiensi, entah dengan modernisasi, peningkatan skala ekonomi, atau -- kalau argumen bahwa tanah di Jawa hanya cocok untuk mono-crop itu benar -- pergeseran ke sektor non-pertanian pedesaan.

 
At 9/11/2006 10:51:00 PM, Anonymous Anonim said...

Arya,
Sepakatnya, impor beras memang pro-orang miskin.

Tapi perbedaannya, elu percaya harga selalu mencerminkan informasi soal efisiensi. Dengan teori sistem satu harga (one-price theorem), perbedaan tingkat harga memberikan informasi tentang perbedaan tingkat efisiensi.

Dalam banyak kasus sektor pertanian memang begitu-karena pertanian dianggap paling kompetitif. tapi dalam struktur informasi yang asimetris, harga tidak selalu mencerminkan gambaran efisiensi. Harga beras tidak selalu sama dengan biaya marginal (marginal cost) plus mark-up distribusi (sebut aja information cost dari pengumpul).

Sekarang kita abaikan struktur biaya input petani yang mungkin tidak efisien-misalnya karena monopoli pupuk dan biaya bukan tanah lainnya terhadap efisiensi produksi petani itu sendiri. Kalo tingkat harga di petani efisien, maka variabel harga beras ditentukan sama mark-up dari si pengumpul.

Pertanyaannya, apakah dengan tekanan harga internasional (harga yang paling efisien) akan menekan mark-up si pengumpul? Dengan teori satu harga, semestinya iya. Tapi mungkin nggak juga, kalo ternyata tekanan harga ini justru menekan harga di tingkat petani-karena pasar yang asimetris tadi. Tapi, hipotesis ini gugur kalo memang harga di tingkat petani pun sudah tidak efisien-sekalipun struktur inputnya tidak efisien.

Terus, ukuran dampak impor beras selama ini selalu melihat dari sisi konsumsi dengan asumsi, secara implisit, tidak ada proses penyesuaian pendapatan or sumber pendapatan, terutama buat kasus petani bahkan buruh tani sekalipun, akibat perubahan harga. Bisa dimengerti alasan teknis dan kompleksitas masalahnya. Tapi, itu bukan tidak mungkin berpengaruh bagaimana kelompok ini melakukan penyesuaian. Pendek kata, analisis ini biasanya mengabaikan efek substitusi konsumsi di masa yang akan datang-ketika harga beras mulai ada dampaknya ke pendapatan.

Soal resiko, biaya kesempatan saja tidak cukup untuk membuat mereka pindah. Dibutuhkan semacam risk-premium yang besar sekali agar mereka pindah. Terus, mungkin muncul pertanyaan kalo gitu kenapa harus dipikirin? Apalagi toh mekanisme kultur agraris jawa-berbagi kemiskinan (shared poverty)-akan menyeselaikan problem sosial yang muncul akibat tekanan pendapatan. Nah kalo begini jawabannya jadi lebih normatif :).

He..he..sori bikin panjang dan ngelantur. Mungkin akibat baca buku tua Clifford Geertz "Agricultural Involution" sama belajar Utility theory and choice under uncertainty ;).

 
At 9/12/2006 06:33:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Yudo,
Klarifikasi: Gw tidak percaya semua harga mencerminkan informasi tentang efisiensi. Hanya harga dalam pasar kompetitif mencerminkan informasi (yang tepat) tentang efisiensi.

Kembali ke komentar elu, gw agak kurang paham inti kritik ini. Kalau gw coba sarikan, intinya kurang lebih begini:

(1) Ada masalah pada industri produksi beras di Indonesia karena struktur pasar yang berpihak pada pengumpul, tidak pada petani.

(2) Tekanan harga akan menyebabkan penyesuaian pendapatan pada sisi pemilik tanah/ penggarap.

Untuk yang pertama, bukankah ini wajar dan tidak unik? Dalam industri apapun, pemain yang (a) memiliki informasi lebih daripada lainnya; dan (b) berani mengambil risiko umumnya dianggap berhak menuai premium dari dua hal itu.

Apakah tekanan harga akan menekan mark-up pengumpul? Pertanyaan itu bisa dibalik: Apakah memang secara normatif seharusnya begitu?

Kesan yang gw dapat, elu menganggap pengumpul tidak memberikan nilai tambah. Tapi jelas ini keliru: Jika benar demikian, sebenarnya mudah saja mem-by-pass pengumpul, bukan? Bahwa pengumpul masih dibutuhkan menunjukkan bahwa mereka punya peran dalam industri perberasan.

Sementara, bukankah hal kedua sesuatu yang "biasa". Inilah itu esensi penyesuaian.

Lalu, apakah dengan begini berarti kita tidak peduli dampak tekanan pendapatan bagi petani (pemilik tanah/penggarap)?

Gw akan jawab ini dengan pertanyaan: Dengan melindungi petani (pemilik tanah) dari tekanan pendapatan, bukankah kita mengabaikan kesejahteraan buruh tani dan warga miskin perkotaan yang jumlahnya lebih besar?

 
At 9/13/2006 08:42:00 AM, Anonymous Anonim said...

Arya,
Yup,...elu bener :)

 

Posting Komentar

<< Home