Kamis, Agustus 31, 2006

Kecukupan sampel Susenas dan garis kemiskinan

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/24/otokir/apapaskah.gifSatu kesalahan besar Presiden SBY dalam reshuffle kabinet terakhir adalah meletakkan Paskah Suzetta, politisi tanpa pengetahuan ilmu ekonomi sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Bukan saja dia tidak mengerti ekonomi, sebagai politisi, dia tidak cukup peduli adagium silence is golden. Simak saja komentar dia tentang kecukupan sampel data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)...:
Kepala Bappenas menilai, jumlah sampel yang digunakan BPS dalam Susenas tersebut tidak cukup memadai untuk menggambarkan kondisi riil sosial ekonomi.

"Saya tidak ahli statistik, tetapi saya lihat (jumlah sampel) itu kurang memadai. Jumlah sampel 10.000 rumah tangga rasanya tidak merupakan representasi 220 juta penduduk Indonesia," kata Paskah.

Walau sudah mengakui bukan ahli statistik, toh tetap saja dia berpretensi menyimpulkan bahwa jumlah sampel Susenas tidak memadai. Andai saja Paskah tahu sedikit statistik, dia akan sadar bahwa pernyataan dia nonsens tanpa makna. Seorang ahli statistik tidak akan membuat pernyataan itu tanpa menjelaskan "memadai untuk apa?"

Jumlah sampel ditentukan menurut kebutuhan. Untuk kebutuhan penggunaan yang amat sederhana – menentukan persentase jawaban ya dan tidak, misalnya – sampel sebesar 100 unit analisis (seperti orang, rumah tangga, komunitas) yang diambil sesuai prosedur sudah lebih cukup untuk mengambil kesimpulan tentang populasi keseluruhan.

Kebutuhan penggunaan Susenas yang jauh lebih rumit daripada kebutuhan sederhana tersebut. Selain itu ada alasan teknis lainnya terkait metode sampling yang membuat sampel minimum 100 unit tidak cukup bagi Susenas.Namun, butuh analisis yang lebih dari sekadar "rasanya" untuk menentukan memadai tidaknya jumlah rumah tangga dalam sampel Susenas.

Amat berbahaya bagi seorang menteri untuk membuat pernyataan tentang hal teknis yang menyangkut hajat hidup banyak orang atas dasar perasaan tanpa didukung pengetahuan. Jika dianggap serius oleh publik, pernyataan serupa ini menciptakan tekanan politik ke arah yang tidak tepat. Seperti dalam kasus ini.

Kebanyakan peneliti ekonomi tidak mempermasalahkan jumlah sampel yang dipakai oleh Badan Pusat Statistik (BPS) – kami menganggap itu sebagai given dan selama ini cukup untuk kebutuhan yang ada. Namun kami lebih khawatir tentang metode yang dipakai BPS untuk angka-angka yang diterbitkannya. Terakhir ini, yang menjadi kontroversi, adalah angka garis kemiskinan.

Alih-alih memperkuat anggaran untuk meningkatkan kapasitas metodologis BPS (sesuatu yang mendesak) pernyataan sembrono Paskah bisa menyebabkan anggaran (yang amat terbatas itu) justru digunakan untuk hal yang sebenarnya remeh. Ini bisa dilihat dari pernyataan dia selanjutnya:
"Kalau masalahnya petugas sensus atau anggaran yang terbatas, bukan karena metode yang salah, ya itu kita tingkatkan saja, karena data BPS itu dampaknya kemana-mana," kata Paskah.

Sejalan dengan kapasitas metodologis, BPS perlu lebih transparan tentang metodologinya. Mengutip tulisan Teguh Yudo Wicaksono yang amat baik di op-ed Kompas hari ini:
BPS sudah saatnya terbuka dalam setiap metode statistiknya karena itu sudah menjadi norma wajib bagi penyedia data publik. Tanpa klarifikasi dan keterbukaan metode statistik, kepercayaan publik atas data bisa runtuh. Parahnya, ini menguatkan pandangan yang masih melekat di sebagian kalangan pengambil kebijakan bahwa kebijakan bisa dilakukan tanpa data empiris. Bila demikian, kita telah berangkat dari kekeliruan dan berujung pada kefatalan.

Ketidakakuratan metodologi sudah barang tentu patut diperdebatkan. Akan tetapi, manipulasi data sudah pasti dosa yang sulit dimaafkan.

Label: ,

2 Comments:

At 9/01/2006 11:15:00 AM, Anonymous Anonim said...

Komentar Paskah yang ditulis di detik.com hari ini lebih mengerikan. Ia mengusulkan bahwa BPS lebih baik menggunakan data BLT sebagai tolak ukur kemiskinan. Huh...bener-bener aneh kepala bappenas yang satu ini.

 
At 9/01/2006 01:27:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Apalagi mengingat data BLT pastinya lebih tidak akurat daripada Susenas.

 

Posting Komentar

<< Home