Masalah (tidak transparannya) garis kemiskinan BPS
kebijakan ▪ kemiskinan ▪
Masyarakat awam bingung tentang garis kemiskinan? Jangan heran. Peneliti ekonomi pun, termasuk mereka yang sehari-hari bergulat dengan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) yang menjadi dasar penentuan garis kemiskinan, sama bingungnya. Walaupun seorang peneliti punya seluruh set data yang dibutuhkan menghitung garis kemiskinan, hampir dipastikan dia akan kesulitan untuk mereplikasi angka kemiskinan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS).Mengapa? Karena, hingga saat ini, BPS tidak pernah transparan menjelaskan metodologi yang digunakannya untuk mengolah data menjadi garis kemiskinan.
Apa sebenarnya garis kemiskinan? Garis kemiskinan adalah besaran penghasilan per orang yang digunakan untuk mengkategorikan miskin-tidaknya seseorang. Ada bermacam-macam definisi garis kemiskinan ini – mulai dari pendekatan US$1 atau US$2, sampai ke pendekatan penghasilan yang dibutuhkan untuk memungkinkan konsumsi senilai 2.100 kalori per orang.
Apa definisi yang digunakan BPS? Jawabannya: Wanda – Wah, ‘ndak tahu ya! Dalam berita resmi BPS, istilah yang digunakan adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Namun, awam (maupun banyak peneliti ekonomi yang menggunakan istilah garis kemiskinan) tidak pernah mendapat penjelasan, baik penjelasan teknis maupun non-teknis, makna dari istilah “pendekatan kebutuhan dasar”.
Padahal, jika ada keinginan, mudah bagi BPS untuk memberikan penjelasan. BPS sudah memiliki situs web yang amat user-friendly dan tidak sulit bagi BPS untuk meletakkan dua file .pdf untuk menjelaskan maksud istilah “pendekatan kebutuhan dasar”: satu bersifat non-teknis untuk masyarakat awam, satunya lagi bersifat teknis bagi peneliti ekonomi.
Untuk yang teknis, perlu pula disertakan source code yang dipakai oleh program statistik BPS (sekaligus modifikasi-modifikasi non-programming yang dilakukan BPS) untuk menghitung garis kemiskinan. Salah satu uji terbaik validitas analisis statistik adalah replikasi. Dengan transparansi, peneliti bisa mengkritisi asumsi yang digunakan sekaligus melakukan koreksi bila perlu. Semua orang bisa salah – bahkan ekonom kelas dunia sekalipun.
Alih-alih begini, BPS membuat penghitungan garis kemiskinannya begitu misterius. Tidak percaya? Coba saja Anda minta source code yang digunakan BPS untuk menghitung garis kemiskinan selama 5 tahun terakhir. Anda harus punya surat super sakti (bukan sekadar surat sakti) untuk bisa mendapatkannya. Padahal, penghitungan garis kemiskinan seharusnya adalah academic exercise yang boleh dikritisi, bukan rahasia negara.
Memang ada alasan sejarah untuk ini. Konon, semasa Orde Baru, BPS (bersama dengan Badan Perencana Pembangunan Nasional, Bappenas) kerap “berkolaborasi” untuk memberikan angka-angka pencapaian pembangunan yang membuat “bapak senang”. Maka, jangan heran jika Anda kesulitan mereplikasi angka-angka dari publikasi BPS dari data mentah. Jangankan orang di luar BPS – orang BPS pun belum tentu bisa mereplikasi angka kemiskinan dari tahun, misalnya, 1995 atau 2000 dari data mentah.
Namun ini masa lalu. Saat ini, tidak ada lagi kebutuhan membuat “bapak senang” – karena, biar pun “sang bapak” senang, bapak dan ibu yang ada di DPR belum tentu, apalagi kalau mereka curiga dibohongi.
Dalam hal ini, BPS tidak boleh sendirian disalahkan. Ketidaktransparanan BPS jelas hasil simbiosis mutualisme dengan pemerintah. Maka, langkah perbaikan harus mulai dengan mendesak pemerintah dan BPS (bukan BPS saja) untuk lebih transparan menunjukkan asal-usul (baik secara non-teknis maupun teknis) angka-angka yang mereka terbitkan. Apalagi untuk angka yang demikian sensitif seperti angka garis kemiskinan.
Label: kemiskinan, statistik
11 Comments:
Pengalaman yang sama. Gue pernah menghitung data kemiskinan-bahkan dengan garis kemiskinan yang diberikan BPS, masih saja tidak sama persis jumlah orang miskinnya dengan publikasi resmi BPS.
Sayang, padahal BPS punya data-set yang luar biasa. Gue juga kenal beberapa teman dari BPS dan punya persepsi kalo mereka sangat kompeten di bidangnya. Jadi, prasangka baik, mungkin tekanan luar yang mendorong BPS tidak transparan. Tapi kalo kelamaan begini, integritasnya bisa turun.
Tapi gw masih ragu kalo mereka kutak-katik data mentahnya, kemungkinan besar perubahan dibuat di garis kemiskinannya...mudah2han sih begitu.
Kalau sudah dibuat kontroversi begini, kecenderungannya kan menuduh bahwa BPS mengorbankan integritasnya karena tekanan penguasa. Ini satu hipotesis.
Tetapi hipotesis dan penjelasan yang sama mungkinnya adalah bahwa BPS melakukan kesalahan sehingga angka belum resmi itu dievaluasi lagi.
Masalahnya, karena tidak transparannya BPS untuk menjelaskan penghitungan garis kemiskinan, kita tidak tahu apakah hipotesis pertama atau kedua yang benar. Secara pribadi, saya pikir agaknya mungkin bukan yang pertama.
Dengan membuka prosedur penghitungan garis kemiskinannya, soal yang pertama, yakni integritas sudah tidak perlu diperdebatkan lagi sehingga kita bisa fokus ke perdebatan yang kedua, yakni tentang tepat-tidaknya cara BPS merumuskan garis kemiskinan.
Well.. although there's no formal (clear) definition of poverty, you can take a look at the following site: http://earthtrends.wri.org/povlinks/country/indonesia.php
Although the survey year was 2002, my guess is the number has not changed much.
UN has a good development programme on pro-poor policy reforms. Check this out: http://www.undp.or.id/
Ngomong-ngomong Mas udah pernah ke BPS dan menanyakan publikasi yang khusus menjelaskan bagaimana garis kemiskinan BPS dibuat (metode penghitungan garis kemiskinan) baik di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Semuanya ada Mas, silahkan tanyakan ke BPS di bagian Analisis dan Pengembangan. Jadi, saya kira BPS cukup transparan karena mempublikasikan metodenya. Metode tersebut juga pernah di presentasikan bersama SMERU dan WORLD BANK tahun 1999 dan mengalami perbaikan/penyempurnaan. Publikasi tentang metode kemiskinan sudah dipublikasi sudah lama Mas. Jadi datanglah ke BPS biar nggak cuma melamun lalu menjudge tidak transparan karena gak ada pengetahuan.
Trims
Salam
Ali
Ali:
Silakan lihat komentar Yudo di atas. Problemnya adalah BPS membuat begitu sulit bagi peneliti untuk mereplikasi garis kemiskinan yang dibuatnya.
Adalah satu hal untuk menjelaskan metodologi umum (yang dipresentasikan dengan SMERU, maupun yang kemudian dibuatkan poverty mapping-nya). Namun, untuk mereplikasi garis kemiskinan, perlu pembeban (weightings) untuk komoditas-komoditas konsumsi. BPS tidak selalu transparan soal ini.
Contoh riilnya adalah seperti yang saya tuliskan di atas. Source code untuk mengkonversi dari data kasar ke garis kemiskinan begitu dirahasiakan -- bahkan bagi peneliti yang erat hubungannya dengan BPS.
Tulisan ini dibuat tiga tahun yang lalu. Entah, apakah memang sekarang sudah lebih transparan.
jadi,,masalah utama dalam semua data yang dihasilkan oleh BPS adalah sumber data yang tidak bersedia memberikan data yang lengkap dan akurat.
misalnya, perushaan industri cenderung menutupi cost maupun gain yang mereka dapatkan. untuk data kemiskinan, mas boleh coba turun langsung dan menanykan langsung isi dokumen tersebut kepada Rumah Tangga yang bersangkutan, saya jamin, jawaban mereka akan membuat mas pusing sendiri..percayalah, karena sya orang lapangan yang sehari-hari bergelut dengan rumah tangga tersebut.
Anonim:
Soal sumber data, saya setuju bahwa untuk mewawancara -- terutama untuk responden perusahaan -- kadang sulit untuk mendapatkan jawaban yang jujur.
Namun saya kira ini tidak bisa digeneralisasi ke semua data BPS, apalagi data rumah tangga. Saya (dan beberapa teman peneliti) memakai varian kuesioner rumah tangga BPS. Dari laporan supervisi lapangan, pertanyaan-pertanyaan kor BPS (seperti konsumsi) bisa dijawab dengan baik oleh rumah tangga jika ditanyakan oleh enumerator yang terlatih baik.
sebelum semua menjudge BPS tidak transparan, mohon anda renungkan kembali,bagaimana cara bekerja dengan baik, harus sesuai deadline dengan segala keterbatasan dan kondisi alam yang sangat sulit.sebagai contoh, mungkin kuesioner SUSENAS sudah dirancang sedemikian rupa sehingga sangat mudah untuk mendapatkan datanya,tetapi dengan kondisi alam, yang mungkin anda hanya mencoba kuesioner di lokasi yang mudah ya,jadi mampu dijawab dg baik dan dg waktu yg cepat.Ini cuma salah satu contoh masalah yg akan dihadapi oleh anda dlm mengumpulkan data. coba anda lakukan dg jumlah sampel yg sama dg BPS yg tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. mudah2an hasilnya akan lebih baik dari BPS.saya juga org lapangan yg dg segala keterbatasan mencoba untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik untuk mendapatkan data yang terbaik. Jadi mungkin sebaiknya kita membantu memberikan solusi yg baik bukan hanya menjudge bahwa BPS melakukan kesalahan.
salam
Rani
Rani:
Kalau posting-nya dibaca dengan cermat, maka Rani bisa melihat bahwa yang dipermasalahkan di sini bukan soal kualitas data BPS. Pada umumnya, kualitas data BPS dianggap relatif baik (terlepas dari pelbagai kekurangan) oleh banyak peneliti dalam maupun luar negeri, termasuk saya.
Namun dalam konteks penghitungan garis kemiskinan, yang jadi persoalan (sehingga menyebabkan kontroversi ketika posting ini ditulis pada 2006) adalah transparansi BPS dalam memaparkan metodologi penghitungan garis kemiskinan tersebut. Ini mustinya cukup mudah dan tidak dipengaruhi oleh kondisi alam. :-)
kalau ada kritik dan saran kenapa tidak langsung disampaikan pada yang bersangkutan..
dari pada ditulis di blog.belum tentu yang berkepentingan akan membaca.ujung2nya cuma bikin orang lain ikutan panas..
kalau tidak berhasil minta penjelasan dari BPS (bagian pertahanan sosial bukan yang dimintai penjelasan?),coba datang ke STIS (PTK dibawah BPS), disana ada dosen yang khusus mengajar mengenai penghitungan garis kemiskinan (mata kuliah pertahanan sosial)..tanya saja ke bagian admnistrasi..
oiya,,,dosen yang saya sebutkan diatas itu juga orang BPS kok...
Posting Komentar
<< Home