Selasa, Agustus 22, 2006

Lagi, soal data kemiskinan

Soal data kemiskinan menjadi isu besar hari ini. Op-ed Kompas memuat tiga tulisan, satu oleh pakar politik, satu oleh ekonom, dan satu lagi sosiolog. Dua yang terakhir, khusus membahas data, saya bahas di sini.

Tulisan ekonom Iman Sugema:
Kesalahan data akan mengakibatkan jutaan orang miskin menjadi tidak terurus oleh negara. Kelaparan, kurang gizi, dan keterbelakangan akan terus berlangsung. Kesalahan data dapat menyebabkan kematian dan itu jauh lebih kejam dibandingkan dengan korupsi.

Biarkanlah [Badan Pusat Statistik (BPS)] memublikasikan data yang sebenar-benarnya, sesuai dengan yang ditemukan di lapangan...

Kalau ternyata data BPS dirasa tidak sesuai dengan kenyataan, mari kita bedah secara publik setelah data itu dipublikasikan... BPS harus bisa mempertanggungjawabkan setiap publikasi datanya. Garis kemiskinan yang diacu BPS bisa jadi terlalu tinggi, tetapi biarkanlah mereka bebas menerbitkannya secara profesional menurut takaran mereka. Baru setelah itu kita kritisi secara habis sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.

Saya pikir Iman amat berlebihan ketika mengatakan bahwa kesalahan data lebih kejam daripada korupsi, namun secara umum saya setuju dengan pesannya. BPS perlu berubah dari lembaga pendukung birokrasi – dan apa yang disebut "tujuan pembangunan nasional" – menjadi lembaga yang secara profesional mampu menyediakan dan menerbitkan data (serta ringkasan data) yang akurat dan terpercaya.

Di lain pihak, saya kira tuduhan implisit Iman bahwa BPS mengubah data mentah tidak benar. Yang lebih tepat, saya kira, adalah bahwa perubahan terjadi setelah data mentah diolah dan siap untuk diterbitkan. Di sinilah agaknya angka-angka tersebut diubah sesuai keinginan.

Sebagai contoh: Seorang teman peneliti yang ahli mengolah data Susenas pernah mengeluh bahwa bagaimanapun data mentah yang dia miliki diotak-atik, ia kesulitan mereplikasi angka kemiskinan yang ada dalam publikasi BPS.

Ia mencoba mengikuti metode BPS dan berusaha meminta penjelasan dari divisi yang menerbitkan angka tersebut. Staf divisi itu pun ternyata kesulitan menjelaskan metodologi yang dipakai mendapatkan angka tersebut. Curiga teman saya, data tersebut diolah menggunakan aplikasi statistik, kemudian dimodifikasi di Excel. Masuk akal, memang, karena tidak mudah mengubah data mentah secara konsisten.

Jika benar, ini kabar baik untuk peneliti (meskipun, mungkin, kabar buruk bagi publik). Peneliti dapat melakukan rekonstruksi dari data mentah untuk mencari angka kemiskinan yang "sesungguhnya" (dan berbeda dari publikasi BPS). Mungkin inilah yang perlu dilakukan para peneliti independen: Lakukan penghitungan, lalu publikasikan dan tantang dalam forum ilmiah BPS untuk menjelaskan metodologi yang dipakainya menghitung garis kemiskinan secara transparan.

Sementara, saya melihat tulisan Ivanovich Agusta sebagai kritik sosiolog atas metode survei kuantitatif:
Dengan berpikir ala buku teks, bagi BPS garis kemiskinan menjadi instrumen teori kemiskinan absolut. Ini terukur menurut kebutuhan fisik seorang lelaki bekerja sehari sebanyak 2.100 kalori (sampai 1996).

Sekarang diharapkan penghitungan yang konsisten dari BPS jika nanti mengeluarkan statistika kemiskinan 2006. Mungkin sejarah berulang, keluarannya berupa penambahan penduduk miskin namun tak melonjak. Misalkan demikian, apakah berarti posisi pemerintah lebih baik?

Tidak jelas juga! Karena pemerintah belum berhasil menemukan golongan miskin...

Evaluasi penanggulangan kemiskinan struktural perlu membanding antarlapisan masyarakat. Tanpa kesadaran akan masalah kesenjangan tersebut, masih dapatkah kebijakan penanggulangan kemiskinan memberdayakan penduduk miskin, sekaligus menciptakan solidaritas dari golongan berpunya?

Mungkin ini berarti dibutuhkan pengumpulan data dalam bentuk lain untuk mendapatkan gambaran kemiskinan struktural. Namun, seperti pernah saya tulis sebelumnya di sini, metode yang diusulkan Ivanovich – yakni pendataan partisipatif – terlalu mahal, apalagi jika harus dilakukan berulang setiap tahun. Selain itu, perlunya metode ini tidak kemudian menafikan survei rumah tangga BPS selain thick description kemiskinan, peneliti seperti saya juga tertarik pada data rumah tangga lainnya (yang tidak akan bisa didapatkan dari metode partisipatif semata).

Lihat juga Pidato Presiden dan data kemiskinan

Label:

3 Comments:

At 8/24/2006 05:42:00 PM, Anonymous Anonim said...

Saya mempelajari pidato tahun-tahun sebelumnya (per bulan Agustus), mulai 2005, 2004, dan 2003. Naskahnya saya download dari Bappenas siang ini. Untuk pidato tahun 2005 dan 2004, data kemiskinan yang ditampilkan TIDAK lebih mutakhir dari pidato 2006 ini. Artinya, data kemiskinan yang diacu selalu berdasarkan susenas Februari tahun sebelumnya. Bahkan, untuk tahun 2003, data kemiskinan itu, sejauh yang saya baca pada naskah, tidak diungkapkan sama sekali. Jadi, kualitas kemutakhiran data (khusus untuk kemiskinan) pada pidato tahun ini sebenarnya TIDAK LEBIH BURUK dari pidato sebelumnya. Jika pada tahun ini hal itu dipersoalkan, menurut saya salah satunya lebih karena banyak pihak penasaran dengan dampak kebijakan kenaikan BBM pada Oktober 2005 yang lalu.

Dengan demikian, untuk meningkatkan kualitas informasi (dari sisi kemutakhiran data) yang disajikan pada pidato tersebut, BPS harus melakukan penyesuaian terhadap jadwal diseminasi data susenasnya. Menurut saya, ini mutlak dan menjadi sangat strategis. Bayangkan, pidato sesakral ini, apalagi yang berkaitan dengan angka kemiskinan, hanya memaparkan data yang sudah berumur lebih dari 1 tahun. Nggak banget dehhh....

 
At 8/24/2006 06:29:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

DIQ,
Kalau Anda lihat pada halaman 4 pada manual Susenas ini, memang BPS menjadwalkan perhitungan angka kemiskinan untuk keluar pada Juli-Agustus 2003.

Saya sendiri berpikir angka kemiskinan itu tidak perlu sampai update sekali karena fenomena peningkatan (dan penurunan) tingkat kemiskinan tidak terjadi dalam lonjakan, melainkan secara gradual. Dalam melakukan analisis kemiskinan, mungkin yang lebih penting adalah melihat tren jangka menengah-panjang daripada perubahan tahun-per-tahun.

Tapi saya rasa observasi Anda tepat: Begitu banyak orang penasaran tentang dampak kenaikan BBM sehingga ini jadi masalah. Masalah lainnya, seperti yang saya tulis pada Update(22/8) di sini adalah karena beredarnya angka (belum resmi) BPS yang menunjukkan lonjakan tingkat kemiskinan.

Saya sendiri termasuk yang skeptis bahwa lonjakan tingkat kemiskinan pasca-kenaikan harga BBM Oktober lalu akan signifikan. Seberapapun tidak sempurnanya, BLT (dengan nilainya sekitar Rp.25.000 per kepala per bulan) saya pikir mampu mengangkat cukup banyak orang di atas garis kemiskinan yang saat ini berada pada kisaran Rp.150.000 per orang.

Konon, menurut sumber yang bisa dipercaya, angka belum resmi BPS yang saya kutip di tulisan di atas (dan juga oleh Iman Sugema) belum final dan masih berubah. Masih dari sumber tadi, ketidakfinalan angka itu bukan karena -- mengutip tuduhan Iman -- tekanan "ekonom 'partikelir'", tetapi karena masalah teknis penghitungan dalam BPS sendiri.

 
At 8/28/2006 06:09:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Analis,
Yang saya katakan adalah bahwa penambahan itu tidak signifikan. Lebih tepatnya, yang sebenarnya saya ingin katakan bahwa kemungkinan prediksi Iman bahwa tingkat kemiskinan akan melonjak ke 22,6% (dari 16% pada Februari 2005) terlalu tinggi.

Garis kemiskinan pada Februari 2005 berada pada Rp150.000-an untuk perkotaan dan Rp.120.000-an pada daerah pedesaan. Seperti yang Anda tulis, angka inflasi (makanan) pada antara Februari 2005 dan Februari 2006 berada pada 18,3%, dan karena mayoritas pengeluaran orang miskin adalah makanan, angka ini lebih relevan daripada inflasi nasional (17,9%).

Jika kita anggap garis kemiskinan bergerak sesuai inflasi makanan, maka garis kemiskinan baru akan naik masing-masing sebesar Rp.27.633 (perkotaan) dan Rp.21.960 (pedesaan).

Dengan BLT sebesar rata-rata Rp.25.000 per kepala, maka jumlah warga miskin perkotaan akan bertambah sebesar jumlah orang yang sebelum BLT memiliki penghasilan Rp.27.633-Rp.25.000=Rp.2.633 di atas garis kemiskinan lama di perkotaan.

Sementara, jumlah warga miskin pedesaan akan berkurang sebesar jumlah orang di pedesaan lama memiliki penghasilan Rp.3040 di bawah garis kemiskinan pedesaan lama.

Karena jumlah orang miskin pedesaan jauh lebih banyak daripada orang miskin perkotaan, jumlah bersih kenaikan orang miskin (secara teori) kemungkinan negatif.

Tapi tentu saja BLT penuh kebocoran, dan kebocoran ini bisa jadi menyebabkan banyak orang miskin tidak mendapatkan haknya. Jadi, amat mungkin tingkat kemiskinan tetap naik. Namun, berdasarkan hitungan back of the envelope ini, saya sulit percaya bahwa kenaikan ini begitu signifikan.

(PS: Lemahnya daya beli adalah fungsi dari inflasi, sehingga mustinya sudah tercakup dalam perhitungan di atas).

 

Posting Komentar

<< Home