Kala ekonom (terlalu) ingin populis
kebijakan ▪ kemiskinan ▪
Hari ini hari yang paling menyedihkan buat saya ketika satu lagi ekonom "menjual" integritas ekonomnya agar lebih diterima sebagai "intelektual (populis) publik". Hari ini, tanpa malu, Iman Sugema memulai tulisannya begini:Jumat (1/9) pekan lalu merupakan hari yang paling menyedihkan bagi saya dan teman-teman di Tim Indonesia Bangkit. Pasalnya, prediksi kami benar, yaitu telah terjadi peningkatan jumlah orang miskin di tahun 2005-2006. Hal tersebut telah dikonfirmasi oleh Badan Pusat Statistik atau BPS yang menyatakan bahwa tingkat kemiskinan di bulan Maret 2006 telah menjadi 17,75 persen, yang lebih tinggi dibandingkan 13 bulan sebelumnya, yakni 15,97 persen.
Sebentar, Bung Iman. Anda bilang Anda (dan Tim Indonesia Bangkit) benar? Maksudnya, ketika memprediksi tingkat kemiskinan pada 22,9 persen? Sebagai ekonom, Bung Iman pasti tahu, kenaikan tingkat kemiskinan dari 15,97 persen ke 17,75 persen adalah kenaikan 11,25 persen, sementara kenaikan ke 22,9 persen adalah kenaikan 43,13 persen? Dan Anda masih berani bilang prediksi itu benar?
Tapi, masalahnya tidak sampai di situ saja. Sembari sekilas melempar teori konspirasi (serupa teori saya di sini), dia membuat klaim yang membuat saya mengernyit:
Itu karena program yang dilakukan hanya mengikuti resep konvensional dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi semata. Tak ada yang salah dengan pertumbuhan ekonomi kalau saja dibarengi dengan pemerataan dan penciptaan lapangan kerja...
Pada intinya, kita ingin melihat bahwa strategi pro-poor, pro-employment, dan pro-growth diimplementasikan secara terintegrasi, tidak diterjemahkan secara terpisah. Contoh riilnya adalah pembangunan infrastruktur berupa megaproyek jalan tol. Kalau kita hanya mengejar pertumbuhan semata, sah saja untuk membangun jalan tol dengan memakai mesin. Namun, karena kita ingin menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, bisa saja dipersyaratkan untuk memakai teknologi padat karya walaupun jangka waktu pengerjaannya lebih lama.
Logika Iman adalah pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan pemerataan dan penciptaan lapangan kerja. Dengan kata lain (seperti juga dicerminkan di contohnya tentang jalan tol) pembangunan yang menciptakan pertumbuhan dan pemerataan saja, atau pertumbuhan dan penciptaan lapangan pekerjaan saja adalah salah. Maka, jalan tol baiknya sebisa mungkin dikerjakan dengan tangan bukan dengan mesin. Hmm?
Sayang, memang, bahwa ide yang baik (bahwa kebijakan pertumbuhan harus diupayakan lebih menciptakan lapangan pekerjaan dan berpihak kepada warga miskin) harus diwarnai dengan pembohongan publik, teori konspirasi, dan ilustrasi berlebihan yang lebih menonjolkan warna populisme daripada nalar ekonomi. Padahal seperti ditunjukkan di sini, warna-warna tak sedap itu sesungguhnya tidak penting bagi sebuah ide yang baik.
Label: kemiskinan, statistik
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home