Senin, Juni 16, 2008

Arief A. Yusuf tentang subsidi BBM


Arief A. Yusuf tentang adil-tidaknya subsidi BBM:
Walaupun keadilan sifatnya subjektif, dalam ilmu ekonomi atau cabang ilmu ekonomi sektor publik, ada pendekatan arus utama (atau "pakem"-nya) dalam mengevaluasi adil tidaknya suatu kebijakan. Suatu kebijakan disebut adil (atau dalam bahasa ekonomi disebut "progresif"), kalau dampaknya cenderung mengurangi ketimpangan.

...

Kalau menggunakan pendekatan ini, adilkah subsidi BBM? Data survei konsumsi rumah tangga menunjukkan bahwa kelompok masyarakat 10% terkaya membelanjakan 27% dari total pengeluarannya untuk membeli bensin, sementara 10% termiskin hanya membelanjakan 1%. Dengan demikian, subsidi untuk bensin selama ini memang tidak adil. Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi bensin...cenderung mengurangi ketimpangan. Kebijakan ini kebijakan yang "adil".

Akan tetapi, ceritanya menjadi lain kalau menyangkut minyak tanah. Data memang menunjukkan subsidi minyak tanah sebagian besar dinikmati golongan kaya. Kelompok 10% terkaya menikmati 9%, sementara kelompok 10% termiskin menikmati 5% dari total nilai subsidi minyak tanah. Akan tetapi, tidak serta-merta mengurangi subsidi BBM sifatnya progresif (adil). Relatif terhadap total belanjanya, kelompok 10% termiskin membelanjakan 22% dari total pengeluarannya untuk membeli minyak tanah, sementara kelompok 10% terkaya hanya 6%.

Berdasarkan kriteria ini, kebijakan mengurangi subsidi minyak tanah atau menaikkan harga minyak tanah dengan demikian sifatnya regresif, akan cenderung menambah ketimpangan. Kebijakan ini tidak adil...

Arief menyimpulkan:
Jadi, adilkah subsidi BBM?...Kita harus hati-hati menjawabnya. Kelengkapan jawaban harus memperhitungkan berbagai faktor lain. Yang pertama, dampak berantai dari kenaikan harga BBM ini. Walaupun pengaruh kenaikan harga BBM-nya sendiri lebih dirasakan golongan kaya, tetapi harga-harga barang lain yang banyak dikonsumsi orang miskin (misalnya makanan dan transportasi publik) naik juga secara berarti, kebijakan menaikkan harga BBM akan cenderung tidak adil karena cenderung menambah ketimpangan.

Faktor kedua adalah kompensasi BLT. Jika distribusi BLT efektif dan besarannya cukup untuk mengompensasi berkurangnya kesejahteraan orang miskin, paket kebijakan menaikkan harga BBM akan bersifat progresif, cenderung mengurangi ketimpangan (adil).

Saya kira, ada satu lagi faktor yang terlewat. Pengurangan subsidi memberikan kelonggaran anggaran yang memungkinkan pelbagai kebijakan pembangunan, termasuk kebijakan pendidikan dan kesehatan -- yang cenderung lebih berpihak pada yang miskin -- maupun kebijakan infrastruktur. Ini pun perlu dipertimbangkan dalam menilai adil-tidaknya pencabutan subsidi BBM.

Saya setuju dengan Arief bahwa waktu dan analisis akan menjawab adil-tidaknya kebijakan ini. Namun, tebakan saya, kebijakan pengurangan subsidi ini cenderung lebih progresif daripada regresif.

Label: , , ,

Jumat, Juni 06, 2008

Harga BBM: Contoh dari Malaysia


Dari Bisnis Indonesia:
Pemerintah Malaysia akan mengumumkan harga bahan bakar minyak setiap bulan sekali, karena mengikuti harga minyak di pasaran dunia, tapi tetap akan memberikan subsidi 30 sen.

Kebijakan penyesuaian harga seperti ini jauh lebih baik karena menghindari komodifikasi politik harga domestik BBM. Dengan kebijakan ini, masyarakat dan pelaku bisnis terbiasa menghadapi fluktuasi harga minyak dunia -- yang sebenarnya sama saja dengan komoditas alami lainnya yang secara umum harganya kerap berfluktuasi.

HT: Arianto Patunru.

Label: ,

Selasa, Desember 11, 2007

APBN vs. rakyat?


Wartawan ekonomi Kompas, Andi Suruji, di Laporan Bisnis dan Keuangan Akhir Tahun:
Apakah pemerintah akan konsisten dengan janjinya tidak akan menaikkan harga BBM, atau menyelamatkan APBN dengan mengorbankan rakyat?

Inilah contoh retorika populis yang nonsens. Mengapa menyelamatkan APBN bertentangan dengan kepentingan rakyat? Bukankah APBN itu untuk rakyat dan karena itu menyelamatkan APBN itu bagian memperjuangkan kepentingan rakyat? Lagipula, inti persoalannya bukan di situ.

Korban dari dipertahankannya subsidi BBM adalah pos-pos APBN seperti pertahanan keamanan, infrastruktur, hingga pembelanjaan pendidikan dan kesehatan, maupun program anti-kemiskinan. Ini bukan soal "APBN" vs "rakyat", tetapi soal "subsidi BBM" vs. pos-pos lainnya. Dan jika orang miskin adalah prioritas maka, seperti yang pernah saya tulis di sini dan di sini, mustinya pilihannya cukup jelas.

UPDATE (12/12):
Andi Suruji perlu membaca Laporan Akhir Tahun Humaniora di Kompas hari ini:
Di sinilah masalahnya. Anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional dalam RAPBN 2008 hanya Rp 49 triliun atau cuma 12 persen dari seluruh APBN 2008. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan ketentuan undang-undang yang menggariskan 20 persen dari APBN.

Anggaran pendidikan: Rp 49 triliun. Subsidi BBM (pada harga minyak dunia US$100 per barel): Rp 170,7 triliun. Bung Andi, silakan pilih: subsidi BBM atau anggaran pendidikan?

Label: , , ,

Senin, Desember 10, 2007

Faisal Basri tentang konversi premium


Faisal Basri di Analisis Ekonomi Kompas menilai negatif kebijakan konversi premium:
Cara yang paling sedikit menimbulkan dampak negatif ialah dengan menggunakan mekanisme penyesuaian harga yang tidak bersifat kamuflase seperti kebijakan konversi premium.

Tentu saja penyesuaian harga tidak dilakukan dengan mendadak seperti tahun 2005, melainkan dengan cara bertahap, katakanlah dimulai dengan kenaikan 10 persen.

Jika harga minyak dunia sedang mengalami penurunan, kenaikan harga bisa dikurangi. Bahkan, jika turun tajam, harga BBM di dalam negeri bisa diturunkan.

Praktisnya, pemerintah sebenarnya bisa saja menerapkan sistem penyesuaian harga bulanan sesuai harga Mid Oil Platts Singapore (MOPS) seperti yang pernah (hampir) diterapkan lewat Keppres 9/2002 di zaman Megawati dulu.

Label: , ,