Minggu, Oktober 09, 2011

Beragama lebih baik? (3/3)

Pertanyaan terakhirnya, seperti apakah orang beragama di Indonesia? Apakah semakin relijius seseorang, semakin murah hati dan tolerankah? Atau sebaliknya? Ini yang saya coba eksplorasi di penelitian saya. Hasil lengkapnya bisa dilihat di sini.

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan data SAKERTI Gelombang ke 4 ini. SAKERTI adalah survei yang luar biasa. Ada setidaknya tiga alasan mengapa saya menganggap survei ini luar biasa...

Pertama, survei ini bersifat panel: rumah tangga yang sama secara periodik dikunjungi dan seluruh anggota rumah tangganya yang dewasa diwawancarai. Rumah tangga yang pindah dari lokasi asli maupun yang "pecah" (karena, misalnya, sang anak menikah) sebisa mungkin dikejar untuk diwawancarai. Gelombang pertama dimulai pada tahun 1993, diikuti tahun 1997, 2000, dan 2007. Dengan demikian, survei ini mengikuti perkembangan rumah tangga responden ini dari generasi ke generasi. Kemampuan survei ini mengikuti rumah tangga asli selama 14 tahun ini pun mengagumkan dibandingkan survei-survei panel sejenis.

Kedua, sampel survei ini representatif untuk 83% penduduk Indonesia -- setidaknya dalam gelombang pertamanya. Artinya, kesimpulan yang diambil dari survei ini cukup menggambarkan kondisi orang Indonesia. Untuk gelombang ke empat, survei ini mewawancara 29.060 orang dewasa yang tinggal di 12.688 rumah tangga.

Ketiga, informasi yang bisa didapatkan dari survei ini sangat kaya. Untuk pertanyaan yang saya selidiki, misalnya. Gelombang keempat SAKERTI tentang kerelaan membantu tetangga, dan rasa percaya responden tersebut terhadap tetangga, polisi, dan orang asing. Selain itu, ada juga pertanyaan tentang rasa percaya yang bersifat primordial dan diskriminatif -- yakni, apakah responden lebih percaya terhadap orang sama suku atau sama agama.

Tentang toleransi beragama, SAKERTI menanyakan sejauh mana responden keberatan jika orang dengan kepercayaan berbeda tinggal di desa, lingkungan, atau rumah mereka. Selain itu, survei ini juga menanyakan sejauh mana responden keberatan jika saudaranya menikahi seseorang yang berbeda kepercayaan, atau jika orang berbeda kepercayaan ingin membangun rumah ibadah di desa responden.

Untuk bisa menjawab pertanyaan penelitian saya, saya butuh informasi tentang relijiusitas responden. Untungnya, di gelombang keempat, SAKERTI menanyakan tingkat relijiusitas seseorang. Saya juga bisa menggunakan sejarah pendidikan masing-masing individu -- termasuk apakah mereka pernah mengenyam pendidikan yang diberikan oleh sekolah berbasis agama. Dengan informasi-informasi ini, saya bisa melihat hubungan antara kerelaan saling membantu, rasa percaya (yang bersifat diskriminatif maupun tidak) dan toleransi.

***

Ternyata, belalang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan belalang di negara-negara yang penelitiannya saya kutip di sini dan sini. Berikut ringkasan hasilnya.

Pertama, semakin relijius, semakin seseorang menyatakan tingkat kerelaan membantu tetangga yang lebih tinggi. Di satu pihak, ini bisa menunjukkan bahwa agama membuat orang lebih murah hati. Di lain pihak, seperti yang saya paparkan di sini, ini bisa jadi cerminan bahwa semakin relijius seseorang, semakin penting citra dia di hadapan orang lain, dan jawaban tersebut bisa jadi cerminan tendensi tersebut.

Kedua, semakin relijius, semakin seseorang (menyatakan bahwa dia) lebih percaya kepada tetangga dan polisi, tetapi tidak kepada orang asing. Selain itu, semakin relijius seseorang, semakin tinggi kecenderungan seseorang untuk lebih primordial, baik dari segi agama maupun suku. (Di sini, primordialisme diukur dari jawaban dia tentang apakah dia lebih percaya orang sama suku dan sama agama).

Terakhir, bagaimana dengan toleransi? Mengingat hasil di atas bahwa relijiusitas terkait dengan primordialisme, tentunya alami jika Anda menebak bahwa relijiusitas terkait dengan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Jika Anda menebak demikian, Anda hanya setengah benar. Benar, bahwa sikap relijius terkait dengan sikap tidak toleran -- namun hubungan tersebut terutama muncul di antara kaum Muslim Indonesia. Korelasi antara relijiusitas dan sikap tidak toleran praktis absen di antara pemeluk agama lain kecuali Protestan -- dan intensitas korelasi antara relijiusitas dan sikap tidak toleran itupun jauh lebih lemah di antara kaum Protestan.

Temuan terakhir soal toleransi ini tidak mengagetkan. Studi Guiso dkk (2003) yang menggunakan World Value Survey (dengan cakupan dunia) menunjukkan bahwa, memang, pemeluk agama yang dominan di sebuah negara cenderung lebih tidak toleran. Biarpun tidak mengagetkan, hasil ini menunjukkan bahwa peran agama agaknya tidak netral/positif dalam hubungan antar-kelompok, baik kelompok agama maupun suku.

Ada catatan penting yang perlu diingat. Penelitian saya ini melihat ada tidaknya hubungan antara relijiusitas dan sikap-sikap di atas, namun tidak bisa menjawab mengapa begitu. Oleh karena itu, hasil ini perlu ditafsirkan secara hati-hati. Soal toleransi misalnya: Apakah ini berarti bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk tidak toleran? Saya, dan hasil penelitian ini, tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Namun, jika harus berspekulasi, saya cenderung sepakat dengan Guiso dkk. (2003) yang melihat hubungan antara sikap relijius dan sikap sebagai cerminan interpretasi budaya masyarakat (dalam konteks masyarakat tersebut) terhadap ajaran sebuah agama. Karena itu, tidak heran jika agama yang sama bisa toleran ketika pemeluknya adalah minoritas, namun menjadi tidak toleran ketika pemeluknya dominan. Tapi, ini sekadar spekulasi. Perlu penelitian lebih jauh dan lebih banyak bukti empiris untuk bisa menjawab pertanyaan sulit soal mengapa ini.

Label: , , , ,