Minggu, Juli 06, 2008

Kemurahan hati dan opportunity cost


Murah hati ternyata punya opportunity cost-nya sendiri. Setidaknya ini yang saya pelajari kemarin dari seorang teman yang amat murah hati.

Empati teman saya ini, sebut saja Alexa, memang mengesankan. Walau termasuk kelas menengah muda Indonesia, Alexa jauh dari definisi kaya. Karena itu, baik dia maupun suaminya harus bekerja. Alexa mengaku bahwa dia cukup pelit dalam hal belanja untuk diri sendiri. Namun untuk urusan membantu orang, dia tak segan merogoh kantungnya sendiri.

Soal pengasuh baru anaknya, misalnya. Pengasuh itu berumur 16 tahun dan belum juga setahun bekerja untuk dia. Tanya punya tanya, ternyata sang pengasuh memang bercita-cita untuk terus sekolah. Alexa pun memutuskan untuk mengembalikan anak itu ke sekolah. Minggu depan, setelah dua tahun putus sekolah, sang pengasuh akan masuk hari pertamanya di sebuah SMK swasta, sambil bekerja untuk Alexa.

Ini hanya satu saja dari banyak cerita tentang kemurahan hati Alexa. Namun, seperti banyak orang murah hati yang saya kenal, Alexa punya kelemahan. Karena dia mudah tergerak oleh penderitaan orang lain, dia jadi mudah pula ditipu. Suami Alexa kerap menasihati dia untuk lebih hati-hati, tapi Alexa tidak terlalu menanggapi. Toh uang itu memang sudah rela dia berikan, begitu pikirnya.

Namun, seperti yang saya katakan ke Alexa kemarin, ekonom punya dua masalah dengan argumen Alexa. Pertama...
, orang merespons insentif. Jika orang tahu Alexa mudah ditipu, para penipu akan minta tolong ke Alexa. Hasilnya, dari jumlah orang yang minta tolong ke Alexa, proporsi penipu akan meningkat dibandingkan orang yang benar-benar susah.

Masalah yang pertama ini membawa ke masalah kedua dari argumen Alexa: Untuk setiap tindakan, ada opportunity cost-nya. Opportunity cost adalah biaya (tidak terlihat) yang muncul karena ketika kita menggunakan uang atau waktu kita untuk melakukan satu hal, kita kehilangan kesempatan untuk menggunakan uang dan waktu itu untuk hal lain yang mungkin lebih baik. Kesempatan yang hilang untuk melakukan hal lain inilah yang disebut biaya kesempatan (atau opportunity cost).

Kekayaan Alexa bukan tanpa batas. Karena itu, kemurahan hati yang secara ceroboh dia "sumbangkan" untuk penipu tidak bisa dia gunakan untuk kepentingan mereka yang benar-benar susah. Alhasil, alih-alih menolong yang susah, Alexa justru mendukung tumbuhnya "industri penipuan". Dengan lebih berhati-hati dan mengalokasikan sedikit uang dan waktu untuk melakukan verifikasi, Alexa akan mengurangi proporsi penipu yang mengetuk pintu rumahnya dan meningkatkan jumlah bantuan ke orang-orang yang membutuhkan.

Secara umum, dilema Alexa ini mirip dilema penggunaan anggaran pemerintah. Kecuali Anda seseorang yang memegang ideologi anarkisme, Anda tentu percaya bahwa betapa pun tidak sempurnanya, anggaran pemerintah adalah untuk kepentingan rakyat. Bagi sebagian orang, ini berarti seharusnya pemerintah boleh-boleh saja menggunakan anggaran semaunya "demi kepentingan rakyat" -- karena toh uang itu memang untuk rakyat. Seolah, karena pemerintah tidak bertujuan mencari keuntungan, pemerintah seharusnya "kebal" terhadap masalah opportunity cost.

Sayangnya, pada kenyataannya, pemerintah -- seperti juga Alexa dan setiap individu yang memiliki sumber daya yang terbatas -- tidak kebal dari masalah ini. Anggaran untuk mensubsidi penggunaan BBM tidak bisa dipakai membangun sekolah, jalan, atau fasilitas kesehatan. Walau semua kebutuhan ini bisa dianggap sebagai "kepentingan rakyat", anggaran terbatas memaksa pemerintah membuat pilihan dan prioritas kebijakan -- karena, dalam dunia yang terbatas, kita tidak mungkin menghindar dari masalah opportunity cost ini.

Label: , ,

11 Comments:

At 7/10/2008 12:24:00 AM, Blogger Kang Boim said...

malem...wah nice blog ni....salam kenal dari waroeng kopi...boleh tukeran link ga??

 
At 7/17/2008 09:41:00 PM, Blogger Fakhrul said...

Setiap tindakan kita memang ada oportunity cost nya bung Arya.. tetapi melihat keadaan itu saya percaya bahwa terkadang di dalam fungsi utilitas seseorang terdapat sebuah variabel yang berkonstanta positif yaitu variabel bahagia melihat kebahagiaan orang lain. dan bagi orang2 tertentu hal itu amat berarti, dan sulit dikuantifisir ha.. ha..

Saya jadi ingat kalimat pertama buka Theory of Moral Sentimentnya Mahaguru Adam Smith:
"How selfish soever man may be supposed, there are evidently some principle in his nature, which interest him in the fortune of others and render their happiness necessary to him, though he derives nothing from it, except the pleasure of seeing it"

 
At 7/18/2008 08:36:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

Boim:
Salam kenal juga.

Fakhrul:
Salam kenal dan setuju banget -- bahkan saya kira, kecuali untuk psikopat, variabel itu pasti dimiliki semua orang. Hanya saja, tergantung siapa yang kita lihat bahagia, nilainya bisa saja positif atau negatif. ;-)

 
At 10/31/2008 05:43:00 PM, Anonymous Anonim said...

halo teman-manan... salam kenal,

saya kepengen sekali belajar ekonomi, tapi tidak tau apa yg hrs di baca.
pleaaaase Mas Arya minta ref. yg cukup.

thx alot
kus_miran@yahoo.com

 
At 12/14/2008 08:41:00 AM, Anonymous Anonim said...

"Namun, seperti banyak orang murah hati yang saya kenal, Alexa punya kelemahan. Karena dia mudah tergerak oleh penderitaan orang lain, dia jadi mudah pula ditipu"

Bagaimana kalau penderita itu benar-benar menderita?

Menurutku, kondisi "jadi mudah pula ditipu" bukanlah karena "dia mudah tergerak oleh penderitaan orang lain". Tetapi masalah kecukupan informasi pada saat memutuskan suatu tindakan.

Mengapa? Karena sangat mungkin terjadi bahwa ada orang yang murah hati tidak (belum) pernah tertipu dengan yang ditolongnya.


Bagaimana dengan suaminya yang menasehati? Akumulasi pengalaman sebelumnya sangat menentukan isi nasehat sang suami. Pada saat lebih sering tertipu daripada tidak, atau karena jebakan stereotyping, maka sangat mungkin kita menasehati Alexa supaya tidak cepat percaya pada penderitaan.

Tetapi, kita menasehatinya agar "tidak cepat percaya pada penderitaan orang" dan bukan memintanya untuk tidak mudah tergerak dengan "mudah tergerak oleh penderitaan orang lain"

Bagaimana bila opportunity cost Alexa hanya Rp X, sedangkan manfaat yang diterima sang penderita ternyata Rp XXXXXX?

Adakah tambahan penjelasan untuk yang terakhir ini?

Mohon petunjuk ya

 
At 12/24/2008 10:47:00 PM, Blogger Unknown said...

bicara masalah biaya kesempatan, larinya lagi2 ke masalah efisiensi ekonomi

hukum pertama fisika mengenai efisiensi adalah tidak ada efisiensi sempurna seratus persen
dan bicara masalah efisiensi, saya sendiri punya satu hukum buatan sendiri yaitu manusia bukanlah makhluk yang efisien
semakin efisien kita di suatu sisi, maka kita akan makin tidak efisien di sini lain
mirip teori ketidakpastian, nah yang ini adalah teori ketidakefisienan
kita memilih mana sisi yang akan diefisienkan dan mana yang tidak

sebagai misal masalah membantu tadi, kita bisa saja rugi karena uang kita diambil penipu
tapi kita pasti memberikan keuntungan untuk orang yang tidak menipu
andaikatakan kita perketat izin untuk meminta
maka kita bisa meminimalisir tingkat penipuan kepada diri kita
tapi lagi2 kita memminimalisir keuntungan untuk orang yang benar2 membutuhkan

nah, bicara masalah amal dsb
bagi saya hanya ada tiga peraturan
1. beri bantuan selama itu tidak akan membuat diri kita menderita
2. memberi bantuan jangan melihat status orang itu, sebagai misal kaya atau miskin dsb, tetapi dari kenyataan apakah ia membutuhkan atau tidak
3. sebisa mungkin itu tidak bersifat uang tetapi barang atau bantuan riil

 
At 1/16/2009 03:39:00 AM, Anonymous Anonim said...

Mas/Mbak Holmes,

Karena uang yang digunakan untuk membantu jumlahnya terbatas, maka harus digunakan secara efektif.

 
At 1/19/2009 03:04:00 PM, Anonymous Anonim said...

selamat siang

wah2 sebagai anak kuliahan, saya ga bisa tidak setuju dgn pendapat mas. tapi saya lebih setuju lagi dengan pendapat mas Fakhrul kalo charity itu punya fungsi utilitasnya sendiri.

belum kalo dimasukin variabel 'pahala'. sebenernya seh menurut saya opportunity cost itu masih belum sempurna kalo belum ngomongin economic cost.

mungkin opportunity cost-nya negatif gara2 kena tipu mulu, tapi kalo kita masukkin 'spiritual profit' atau 'potential profit' (bagi mereka yg percaya pahala atau karma yah ^^) bisa aja bottom line nya profit makanya mba Alexa ini puas atau fungsi kepuasannya tercapai.

hmm.. kalo dipikir2 bisa dimasukkin ke dalam teori real option yah. hahaha..

btw mas bisa tuker link?? terima kasih.

salam,
Rizki

 
At 4/11/2009 06:48:00 PM, Anonymous Oikos Nomos said...

Alhamdulillah, mudah-mudahan di Indonesia akan banyak orang yang punya hati kayak Alexa (tapi yang mudah ditipu). Opportunity cost nya Alexa dan Alexa lainnya di Indoesia insya Allah menjadi investasi akhirat. Adakah saat ini orang yang selalu berfikir untuk investasi akhirat? Mudah-mudahan pasca pemilu akan banyak orang berfikir bukan sekedar investasi dunia

 
At 4/11/2009 06:52:00 PM, Anonymous Oikos Nomos said...

Ralat Oikos Nomos. Maaf kalimat yang ada dalam comment saya tadi ada yang terlewat, yaitu kalimat yang ada dalam kurung, kurang satu kata, yaitu kata "tidak", seharusnya (tapi yang tidak mudah tertipu)

 
At 4/18/2009 10:09:00 AM, Blogger Assume Nothing - Question Everything said...

coba ditulis secara eksplisit, itungan untung rugi dari sisi pemberi bantuan dan dari sisi penerima bantuan. kalo perlu dibuat modelnya, minimal model verbal. kaya krugman ada yang wonkish-wonkish gitu lah ;)

 

Posting Komentar

<< Home