Selasa, September 06, 2011

Plagiarisme atas buku "How We Decide"

Di bawah, Nalar Ekonomi memuat temuan Tirta Susilo akan sebuah karya plagiat yang dipresentasikan dalam sebuah forum diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
—Arya Gaduh

----
Oleh: Tirta Susilo

Belum lama ini saya mengunduh makalah Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme yang ditulis Ryu Hasan sebagai bahan diskusi klub sains Freedom Institute pada 19 Agustus 2011. Ternyata seluruh makalah tersebut berisi terjemahan buku How We Decide karangan Jonah Lehrer, Bab 6 halaman 171-189. Karena tidak ada satupun rujukan maupun atribusi ke Jonah Lehrer, saya dan beberapa rekan lain mengambil kesimpulan bahwa makalah ini plagiat.

Sebagai contoh, berikut paragraf pembuka Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme:
Kalau dibicarakan secara sepintas, mungkin banyak yang tidak percaya bahwa terdapat hubungan antara moralitas dan emosi. Keyakinan umum selama ini adalah bahwa keputusan-keputusan moral muncul dari proses yang sangat logis dan legal. Anggapan umum bahwa berbuat baik berarti menimbang secara teliti argumen-argumen yang saling bertentangan, bagaikan seorang hakim yang netral dan tidak berat sebelah. Penjelasan tersebut mempunyai sejarah yang panjang. Tokoh-tokoh Abad Pencerahan, semisal Leibniz dan Descartes, berusaha menyusun suatu sistem moral yang sepenuhnya terbebas dari perasaan. Immanuel Kant berpendapat bahwa berbuat baik hanyalah konsekuensi dari bertindak rasional. Imoralitas, tulisnya, adalah hasil dari ilogika (illogic). Kata Kant lagi, "Makin sering kita merenungkan" keputusan-keputusan kita makin bermorallah keputusan-keputusan kita. Hingga sejauh ini sistem hukum modern masih berpijak pada asumsi-asumsi kuno tersebut dan membebaskan siapapun yang "rasionalitasnya cacat" —orang-orang ini secara hukum dinyatakan gila— sebab otak rasional dianggap sebagai pembeda antara benar dan salah. Doktrinnya adalah "apabila Anda tak dapat menalar, berarti Anda tak boleh dihukum".
Dari halaman 171-172 How We Decide:
At first glance, the connections between morality and the emotions might be a little unnerving. Moral decisions are supposed to rest on a firm logical and legal foundation. Doing the right thing means carefully weighing the competing claims, like a dispassionate judge. These aspirations have a long history. The luminaries of the Enlightenment, such as Leibniz and Descartes, tried to construct a moral system entirely free of feelings. Immanuel Kant argued that doing the right thing was merely a consequence of acting rationally. Immorality, he said, was a result of illogic. "The oftener and more steadily we reflect" on our moral decisions, Kant wrote, the more moral those decisions become. The modern legal system still subscribes to this antiquated set of assumptions and pardons anybody who demonstrates a "defect in rationality" —these people are declared legally insane— since the rational brain is supposedly responsible for distinguishing between right and wrong. If you can't reason, then you shouldn't be punished.
Demikian seterusnya sampai paragraf terakhir.

Anda dapat memeriksa sendiri plagiarisme tersebut di bawah: Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme di kiri, How We Decide di kanan.














Menghindari plagiarisme sebenarnya tidak sulit, seperti dijelaskan antara lain di sini dan sini. Mari menciptakan Indonesia yang bebas plagiarisme.

17 Comments:

At 9/08/2011 06:47:00 AM, Anonymous daengmappe said...

Dokter plagiator.. IDI kudu periksa ulang ijazahnya tuch..

 
At 9/08/2011 09:27:00 AM, Anonymous Anonim said...

@daengmappe wahaha
bener

 
At 9/08/2011 01:30:00 PM, Anonymous Anonim said...

Memalukan,,,

 
At 9/08/2011 02:04:00 PM, Anonymous Anonim said...

dasar antek JIL koplak....banyak bacot...taunya plagiat

 
At 9/08/2011 02:30:00 PM, Anonymous Anonim said...

temen2nya ulil si dedengkot jaringan iblis liberal memang gak ada yang bener...hobby edit karya orang,sampe edit ayat2 Tuhan

 
At 9/08/2011 06:29:00 PM, Blogger yessi vadila said...

Wah, makanya kalo sekolah yg bener, jgn nyontek, jgn copas tugas org. Kalo mau publish cek dulu di TURNITIN, udah canggih kan skrg ada yg bantuin cek plagiat atau ga.. Wah, bener dugaan sy slama ini, jil gede omdo :)

 
At 9/08/2011 08:06:00 PM, Anonymous Annie Soehardjo said...

waduhhh, masak sih?

 
At 9/09/2011 05:39:00 AM, Anonymous neo indonesia said...

sudah meminta maaf via twitternya.
makalah tsb dibuat utk pengantar diskusi sains, dan dalam diskusi tsb berkali2 ryu hasan menyampaikan sumber rujukannya.

ayo terus kembangkan budaya diskusi pengetahuan, meminta maaf, dan komentar santun!

 
At 9/09/2011 10:39:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

@Neo Indonesia:
Saya setuju soal sikap santun berkomentar dan juga semangat berdiskusi pengetahuan.

Tapi untuk soal Ryu menyebut soal Lehrer, saya mau minta tolong. Di Youtube ada video forum diskusi tersebut (silakan cari kata kunci "FINS - Klub Sains Freedom Institute: Otak, Spiritualitas, dan Altruisme"). Bisa tolong ditunjukkan di video nomor berapa Ryu Hasan menyebut Jonah Lehrer?

Di video (8) Ioanes Rakhmat menunjuk pada buku Jonah Lehrer, tapi saat itu pun Ryu Hasan tidak memberikan kredit pada Lehrer. Saya juga sudah menonton seluruh set video sampai dengan video 19, dan tidak sekalipun Ryu menyebut Lehrer. Mungkin saya terlewat. Bisa saya tolong ditunjukkan nomor video dan menit-detiknya? Terima kasih.

 
At 9/09/2011 02:11:00 PM, Anonymous neo indonesia said...

@arya gaduh
wah saya yg salah!
saya merujuk ke twit saidiman, mungkin maksutnya dalam diskusi2 kecil sblm diskusi bulanan tsb.
ryu hasan juga mengakui dalam permintaan maafnya dia tidak memberi kredit ke Lehrer.
mohon maaf..

btw, menurut saya ini adalah ketidaksengajaan.. meskipun fatal.
bagaimana menurut anda?

 
At 9/09/2011 09:16:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

@Neo Indonesia:
Mungkin tergantung, istilah "sengaja" itu maknanya apa, karena bisa macam-macam (misalnya: "sengaja karena ingin terlihat pintar" atau "sengaja karena terburu-buru/malas").

Tapi saya kira ada aspek tidak jujur, bukan soal lalai di sini. Kenapa? Karena kalau Anda lihat video 8, di akhir diskusi, Ioanes Rakhmat sudah memberikan "kesempatan" bagi dia untuk mengembalikan kredit pada Lehrer. Kesempatan itu tidak dia ambil,

Lagi-lagi, mungkin ada soal konteks juga di sini -- dia pikir, orang klub sains Freedom Institute sudah terbiasa berdiskusi menggunakan ide orang lain, tanpa mengutip sumber asal. Kalau benar begitu, maka masalahnya jadi lebih besar, yakni masalah pada Klub Sains Freedom itu sendiri.

 
At 9/13/2011 09:50:00 AM, Anonymous Anonim said...

berkat mas arya gaduh yg rajin membaca KEBENARAN tersibak.

 
At 9/13/2011 09:58:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

@anonim:
Bukan berkat saya, tapi teman saya, Tirta Susilo. Dia lebih rajin membaca daripada saya. :-)

 
At 12/06/2011 04:56:00 AM, Blogger ARDHI said...

Yaaahhh....ketauan juga plagiarismwnya...hhehehe...saya setuju banget dengan mas galuh..tuh kalo gak ada yg koreksi neo indonesia seakan akan bener ryuhasan udah merujuk lehrer di diskusinya! Ternyata gak. Ahh...gaya sok akademisi, mengedepankan otak.Moralitas adalah konsekuensi logis.Eh...plagiarisme gak ada hubungannya dg moralitas ya pak? Katanya jd ateis malah lebih humanis, moralis, eh taunya pak ryuhasan membuktikan bahwa otak saja tidak cukup.ya kan?Di dunia kedokteran plagiarisme adalah bentuk penghianatan terbesar dlm sains! Satu saja, untuk sekaliber ryuhasan moso gak tau apa itu plagiarisme? MEMALUKAN!!!!

 
At 12/06/2011 06:38:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

@Ardhi:
Hati-hati dalam menyimpulkan. Kesalahan Ryu Hasan tidak membuktikan apapun tentang benar-tidaknya informasi yang dia sampaikan (misalnya, soal keniscayaan otak dalam keputusan moral). Karena menggunakan cara menyimpulkan seperti itu, Anda akan membuktikan tidak ada agama pun yang benar. Kenapa? Karena dalam setiap agama, ada saja penyampai pesan agama yang melakukan tindakan yang melanggar norma moral. Jangan samakan pesan dengan penyampainya.

 
At 7/25/2023 12:51:00 AM, Anonymous Anonim said...

Hmm.. Sangat disayangkan... Padahal menurut sy sbg orang awam, Ryu Hassan adalah great speaker. Saya tahan berjam jam mendengarkan penjelasan beliau.

Semoga saja ini bukan kesalahan yang disengaja && beliau belajar dr kesalahan ini.

 
At 7/25/2023 01:46:00 AM, Anonymous Anonim said...

Tambahan: setelah membaca tulisan makalah plagiat tersebut, saya tidak merasa bahwa ini adalah "gaya bicara ryu hassan".

Terasa membosankan, (tidak seperti gaya bicara otentik dr ryu).

Entah kenapa bisa terjadi kesalahan ini. Saya tidak merasa bahwa beliau begitu bodoh untuk melakukan plagiat segamblang ini.

Saya juga tidak merasa bahwa beliau akan merasa puas dengan hasil tulisan yang terjemahannya agak acak² kan tersebut, jika beliau memang ingin melakukan plagiat: misal untuk jurnal terakreditasi.

Something wrong here. Saya tidak yakin bahwa dia ingin orang orang menganggap bahwa itu adalah murni hasil sintesa pikirannya sendiri.

 

Posting Komentar

<< Home