Jumat, September 30, 2011

Beragama lebih baik? (1/3)

Pertanyaannya begini: Semakin taat beragama seseorang, semakin suka menolong, saling percaya dan tolerankah seseorang? Intuisi kebanyakan orang akan menjawab: Tentu saja. Bukankah semua agama mengajarkan orang untuk saling menolong tanpa pandang bulu? Tapi, karena intuisi kadang suka meleset, mungkin ada baiknya kita melihat bukti.

Soal suka menolong misalnya. Selama ini, survei menunjukkan bahwa orang yang taat beragama cenderung lebih murah hati. Buktinya adalah apa yang dikenal sebagai "charity gap" -- orang yang taat beragama lebih banyak menyumbang ke lembaga nirlaba daripada yang tidak taat beragama. Ini jelas bukti bahwa orang yang taat beragama lebih murah hati, bukan?

Tunggu dulu. Tentu saja bisa jadi bahwa jawaban survei mencerminkan perbedaan yang nyata antara orang yang taat dan tidak taat. Hanya saja, eksperimen perilaku menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam hal kemurahan hati antara orang yang taat dan tidak taat beragama (contohnya, eksperimen Darley dan Batson yang diringkas di sini). Jangan-jangan ada hal lain yang menyebabkan perbedaan yang ditemukan dalam survey tersebut...

Satu kemungkinan adalah urusan jaim alias jaga image. Psikolog Douglas Trimble (1997) menemukan korelasi antara kebutuhan untuk menjaga citra diri (alias jaim) dan ketaatan beragama. Temuan berdasarkan survei dari Trimble ini dikonfirmasi oleh eksperimen oleh para psikolog sosial.

Bagaimana menguji apakah sensus atau eksperimen yang benar soal kemurahan hati dan ketaatan agama? Atau menguji apa benar orang yang taat beragama lebih jaim, terutama untuk urusan kemurahan hati ini?

Untuk menjawab, semisal Anda ingin tahu seberapa tulusnyakah kemurahan hati teman-teman Anda. Ujian ketulusan adalah membandingkan sejauh mana mereka menawarkan untuk membantu ketika tawaran bantuan itu benar-benar harus direalisasikan ("besok saya perlu bantuan pindah rumah, dan barang-barang saya berat-berat dan segudang banyaknya"), dengan "kerelaan mereka" ketika besar kemungkinan bantuan itu tidak akan terealisasi ("kapan-kapan, kalau sudah ada uang, kalau visanya dapat, kalau ada pembantu untuk menjaga anak-anak, atau kalau anak-anak sudah besar, kalau suami libur, kalau... boleh ya saya menginap di rumah kamu di luar negeri barang sebulan").

Motivasi utama mereka yang rela memberikan bantuan di tipe kedua, tapi malas-malasan menjawab di tipe pertama, adalah urusan jaim -- supaya tidak kelihatan tidak murah hati. Tentu saja, contoh saya di atas, tidak sempurna, karena dua macam permintaan bantuan itu berbeda kualitasnya (membantu pindahan dan memberi tumpangan tingkat menyusahkannya berbeda). Tapi, bagaimana jika kedua permintaan bantuan itu persis sama. Kira-kira, benar tidak ya yang beragama lebih murah hati?

(bersambung ke bagian 2...)

Label: , , , ,