Premanisme a la konglomerat
Sebuah perusahaan menolak mempekerjakan orang dari kelompok tertentu. Sebagai respons, kelompok tersebut menggalang massa mendemo perusahaan untuk memaksanya mempekerjakan anggota kelompok tersebut. Demo pun memenuhi jalan, menciptakan kemacetan, bahkan berakhir cukup panas.
Saya bicara tentang demo Forum Betawi Rempug (FBR) vs. Giant di tahun 2003 seperti dilaporkan Kompas di sini. Namun, saya tidak akan menyalahkan Anda yang berpikir bahwa saya membicarakan konflik Siti Hartati Murdaya dengan Nike. Bagi saya, perilaku Siti Murdaya (yang menurut Forbes adalah orang nomor 16 terkaya di Indonesia pada 2006) tak beda dengan perilaku FBR. Istilah "preman" -- yang kerap menempel pada FBR -- mungkin pantas dilekatkan pada konglomerat yang satu ini.
Inti kedua konflik ini serupa. Baik Giant (atau Nike) menolak mempekerjakan sekelompok orang yang dikelola oleh FBR (atau anak perusahaan Central Cipta Murdaya atau CCM). Dalam kedua konflik tersebut, baik Giant maupun Nike berhak tidak mempekerjakan orang yang mereka anggap tidak memenuhi standar kualitas. Dalam kasus Nike dan CCM, perilaku ini saya kira bahkan diatur dalam sebuah kontrak tertulis.
Yang menarik, respons organisasi preman ternyata tak jauh berbeda dengan respons konglomerat yang konon lebih 'beradab': Ke jalanan. Dengan ramai-ramai ke jalanan, baik FBR maupun manajemen CCM berusaha menyusahkan hidup kita (dan pemerintah) -- penonton dan pihak ketiga yang sebenarnya tidak ada urusan -- dengan harapan kita (dan pemerintah) menyusahkan 'musuh' mereka agar menyerah. Inilah komunikasi a la Siti Murdaya, yakni "persuasi lewat ancaman".
Padahal, isu Nike dan anak-anak perusahaan CCM ini sederhana. Nike tidak puas dengan kinerja dan standar kualitas PT. HASI dan PT. NASA (anak perusahaan CCM) dan, jika manajemen tak puas keputusan Nike, mereka bisa membawa Nike ke pengadilan. Jika gagal, para buruh harus menyalahkan manajemen HASI dan NASA yang tidak kompeten -- baik karena gagal meyakinkan Nike akan kualitas jerih lelah mereka, atau ceroboh membuat kontrak. Jika keduanya harus tutup, adalah tanggung jawab manajemen untuk memenuhi kewajiban hukum mereka kepada para buruh. Jika menolak, merekalah yang harus didemo.
Karena itu, tepat yang dikatakan Ketua Apindo, Sofjan Wanandi:
Mereka itu salah alamat, masak [Apindo] mau ditekan supaya kita mau membantu keluarga Poo (sebutan keluarga Hartati Murdaya) untuk menekan Nike membayar pesangon buruh HASI dan NASA...[Yang] seharusnya membayar pesangon buruhnya bukan pemesan, tetapi pemilik perusahaannya..."Karena ucapan Sofjan, Apindo pun kena demo hari ini. Entah siapa lagi korban premanisme a la konglomerat selanjutnya. Moga-moga bukan blog ini...
Update (27/7): Ternyata ini bukan pertama kalinya Siti Murdaya menerapkan pola komunikasi 'persuasi lewat ancaman'. Artikel ini dan ini menunjukkan memang pola komunikasi inilah pilihan favorit bos CCM itu.
4 Comments:
Kemarin ada perdebatan luar biasa antara Hartati dengan Sofyan. Intinya adalah:
1. Ini menyangkut 14000 buruh, juga menyangkut 20 tahun kerjasama. Kalau sudah 20 tahun kerjasama, lalu ada rasa tidak puas, apakah pantas putus sepihak? Karena alasan utama Nike memutus adalah karena dia sudah mendapat pabrik baru dengan buruh yang lebih murah. Dikatakan Hartati, ini dilakukan Nike di pabirknya di berbagai negara lain.
2. Sofyan kemarin diberi "pelajaran" bahwa sebaiknya kalau bicara selidiki dulu faktanya. Hartati membantah bahwa dia meminta Nike memberi pesangon. Hartati sedang mengusahakan pabrik baru untuk memperkerjakan seluruh karyawannya. Apakah Sofyan sanggup melakukan hal serupa? Karena menurut saya, mulut dia itu terlalu bau. Yang biasa mendengarkan radio Pas FM pasti sudah terbiasa dengan komentar negatifnya yang kadangkala justru menunjukkan kebodohan dan kepicikannya.
Saya bukan dari kubu manapun, saya orang awam yang kebetulan nonton TV dan dengar radio :) Saya mengagumi orang yang melakukan tindakan nyata dibanding hanya komentar yang sifatnya negatif (jauh dari konstruktif).
Har15:
Tentang pesangon, silakan lihat pernyataan Siti Murdaya di artikel detik.com ini.
Kritik saya sederhana: Mengapa berupaya menyeret pihak ketiga ke dalam urusan yang tak lebih dari masalah kontrak bisnis antara dua pihak? Lagipula, bukankah putus kontrak adalah hal wajar (apalagi karena urusan harga) dalam semua transaksi bisnis?
Saya setuju dengan bung Arya..
Premanisme nya kerasa banget..
Kemarin, Saya juga nonton kok perdebatan yang diungkapkan oleh har15.
Menurut Saya, yang bau itu bukan bung sofyan. Tapi, si mbak Hartati yang dari omongannya bener2 keliatan kapasitas otaknya.
Overall, bukannya hal wajar kalau pemesan barang mencari brang lain yang lebih murah dan kualitasnya lebih bagus?
Komentar ini di Cafe Salemba membawa saya pada artikel ini di Tempo. Jika benar reportase Tempo ini (serta reportase yang melatarbelakanginya), agaknya keinginan 'putus sepihak' Nike bukannya tanpa alasan kuat.
Posting Komentar
<< Home