Minggu, Oktober 08, 2006

Paradoks (ekspektasi) harga murah

Dalam satu napas, Winarno, tokoh organisasi petani Indonesia yang hari ini diwawancara Kompas, menunjukkan paradoks dalam argumen dia sendiri:
Sebagai ketua organisasi petani, Winarno meminta pemerintah bisa menjaga harga beras stabil, bukan murah. "Harga beras jangan murah supaya merangsang produksi dan menaikkan nilai tukar petani, tetapi harus stabil untuk kepentingan buruh di kota. Untuk orang miskin, tugas pemerintah menyediakan raskin, beras untuk orang miskin," kata Winarno.

Menurut Winarno, jangan hanya produksi padi yang dikendalikan harganya, tetapi juga kebutuhan sehari-hari lainnya seperti barang elektronik, sandang, papan, dan bahan bakar minyak supaya dapat dibeli dengan tingkat pendapatan petani padi.

Mendengar usulan ini, para produsen barang elektronik, sandang, papan, dan bahan bakar minyak tentu akan memberikan respons seperti Winarno: "Harga [...sebutkan komoditas dia...] jangan murah supaya merangsang produksi dan meningkatkan nilai tukar produsennya..."

Maka, jika usul Winarno bahwa pemerintah harus mengendalikan harga semua barang kebutuhan sehari-hari agar murah, sesuai logika Winarno sendiri di paragraf sebelumnya, akan terjadi kelangkaan barang.

Inilah pengalaman negara komunis yang masih bisa kita lihat di Korea Utara. Selain itu, pengalaman soal pengendalian harga menunjukkan bahwa yang akhirnya diuntungkan hanyalah produsen dan industri yang punya koneksi dengan pemerintah, sementara yang dirugikan adalah konsumen (petani maupun bukan).

Pengalaman tentang dampak negatif pengendalian harga tersebut mustinya dicamkan dalam penentuan kebijakan penanganan beras saat ini...

5 Comments:

At 10/22/2006 12:56:00 PM, Blogger pelantjong maja said...

kenapa beras harus dikendalikan harganya karena beras menyangkut hajat hidup orang banyak sebagai makanan pokok. adalah lebih baik jika kebutuhan beras disediakan di dalam negeri daripada impor. pertama, impor sangat rentan pergerakan harga international dan stok beras international. kedua, pasar beras sangat terbatas mengingat penduduk negara yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok tidak banyak (umumnya asia). tetapi produksi negara2 asia juga terkendala kebutuhan domestik masing-masing. ketiga, telah terbukti dalam sejarah orde baru, beras digunakan sebagai komoditi politik yang efektif. jadi para politisi sangat berkepentingan untuk mengelola isu beras demi menyelamatkan kekuasaan.
salah satu caranya memang dengan kontrol harga. tapi saya mengusulkan cara lain dengan memberikan peluang kepada petani untuk mengorganisir produksinya dan mewakili diri mereka sendiri di pasar (beras). selama ini para aktor hanyalah pengusaha skala besar.

 
At 10/22/2006 01:47:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Pelantjong Maja (PM),
Tentang argumen "lebih baik beras jika disediakan di dalam negeri daripada impor", silakan lihat di sini berikut diskusi dengan anonymous dalam seksi Comment.

Alasan ketiga, tentang politik, itu mungkin. Tapi, dengan demikian, kepentingan yang diperjuangkan bukanlah kepentingan seluruh rakyat, tetapi kepentingan "produsen dan industri yang punya koneksi dengan pemerintah". Dalam hal ini, rakyat miskin-lah yang harus menanggung harga beras yang lebih mahal demi petani pemilik tanah.

 
At 11/07/2006 09:03:00 AM, Anonymous Anonim said...

Kepemilikan tanah petani rata-rata 0,25 Ha/KK, artinya dengan produktifitas perhektar saat ini, maka pendapatan keluarga petani padi rata-rata di Indonesia Rp 350.000/bulan. Pantaskan mereka mensubsidi kelompok lain dengan tetap mengendalikan harga murah? Karawang, Indramayu dan Subang sebagai katong padi terbesar juga menjadi kantong kemiskinan terbesar juga.

Akbar
Collaboration for Regional Business Environment Strengthenging COREBEST)
http://www.corebest.net

 
At 11/07/2006 09:08:00 AM, Anonymous Anonim said...

Lebih jauh bisa dilihat hasil sebuah survei sederhana profil petani dan masalah pertanian padi di Indramayu pada awal tahun 2006 oleh Corebest

 
At 11/07/2006 11:46:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

Akbar dan Salim,
Terima kasih untuk link-nya.

Saya tidak mengusulkan petani mensubsidi kelompok lain. Namun, logika sebaliknya -- bahwa sebaiknya harga barang-barang yang konsumsi petani sebaiknya diregulasi -- adalah ide buruk, karena alasan yang baru saja disebutkan Winarno pada paragraf sebelumnya.

Salim,
Dari laporan Anda, buruh tani menjadi mayoritas pekerja pertanian di Indramayu. Bukankah dengan demikian, kenaikan harga beras akan cenderung membebani kesejahteraan pekerja tani mayoritas ini?

 

Posting Komentar

<< Home