Sabtu, September 23, 2006

(Hati-hati) belajar pelayanan dari Jembrana

Bupati Jembrana kerap disorot sebagai contoh bupati yang mampu mengefektifkan aparatnya untuk menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas. Kemarin di Kompas, misalnya, tulisan ini lagi-lagi memuji kebijakan di Jembrana sebagai pro-rakyat:
Mencermati berbagai langkah terobosan Pemkab Jembrana itu, layak jika berbagai pihak di seantero negeri secara khusus berkunjung ke Jembrana. Tujuan utamanya belajar berbagai inovasi serta efisiensi melalui kebijakan yang sungguh-sungguh prorakyat, melayani rakyat.

Sebenarnya, nasihat untuk berkunjung ke Jembrana ini pernah diikuti oleh beberapa teman peneliti di Bank Dunia. Secara spesifik, mereka menelaah kebijakan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Sekilas, kebijakan itu terlihat memiliki dampak nyata pada kualitas pelayanan kesehatan. Namun tak seperti yang digembar-gemborkan, kemajuan ini butuh biaya yang amat mahal.

Saya kebetulan membantu melakukan analisis dan menulis laporan penelitian tersebut. Analisis saya menunjukkan bahwa kebijakan JKJ yang katanya "pro-rakyat" ini tidak sepenuhnya pro-rakyat miskin, apalagi dalam evolusinya yang terakhir. Selain itu, dalam jangka panjang, program ini tidak bisa dipertahankan secara keuangan.

Pesan penting dari hasil penelitian ini bukanlah bahwa JKJ (atau inovasi lain di Jembrana) sepenuhnya buruk. Pesan pentingnya: Kritislah terhadap kebijakan yang "katanya" baik (atau pro-rakyat), karena konon menurut para ekonom "there is no such thing as a free lunch". Setiap kebijakan, pasti ada biayanya!

2 Comments:

At 12/03/2007 04:41:00 PM, Blogger Adri Faisal said...

Bukan berarti saya membela Jembrana, karena saya orang Yogya.
OK memang betul setiap policy butuh dana, tapi perlu dicermati juga keberanian Jembrana dalam memangkas birokrasinya, dimana PNS nya hanya sekitar 5000 orang dan hanya 7 dinas, sehingga akan mengirit banyak uang. kabupaten lain pastilah di atas 10000 PNS, bahkan ada yang mencapai 20.000.
kita tahu 80% DAU hanya untuk membayar gaji PNS, bukankah itu dana yang banyak apabila bisa melangsingkan birokrasi.
Saya salutnya itu, keberanian untuk menggunakan birokrasi yang langsing dan berkualitas, sehingga efisien.

 
At 12/03/2007 10:13:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Adri:
Saya juga salut. Bukan itu saja: Dari penelitian teman-teman itu, terlihat bahwa sang bupati memiliki komitmen yang serius terhadap kebijakan ini. Pelbagai elemen kebijakan JKJ ini dipikirkan secara serius.

Saya cuma khawatir jika pemda lain berpikir "asuransi kesehatan daerah = bagus" atau "JKJ = model best practice", namun melupakan betapa besarnya biaya untuk itu. Kesan yang muncul di publik -- setidaknya di antara beberapa teman LSM -- agaknya seperti ini.

Ini perlu diantisipasi. Kalau tidak, jika JKJ "gagal", saya khawatir, sebagai reaksi ekstrem kesan di atas, muncul kesan bahwa semua asuransi kesehatan daerah gagal (karena toh best practice-nya saja gagal). Padahal, JKJ belumlah layak dianggap sebagai best practice.

 

Posting Komentar

<< Home