Senin, Agustus 07, 2006

Kala pemerintah belum efektif

Hari ini, di Analisis Ekonomi Kompas, Fauzi Ichsan, ekonom Standard Chartered Bank, punya ide menarik:
Mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah membelanjakan anggarannya, kebijakan ekonomi pemerintah patut ditinjau kembali. Pertama, karena daya beli masyarakat rendah dan 60 persen dari ekonomi Indonesia digerakkan oleh belanja masyarakat, BLT dapat diperbesar...

Kedua, kebijakan perpajakan pemerintah patut dipertimbangkan. Pemerintah giat memperbesar penerimaan pajak untuk membiayai pembangunan...[Jika] penerimaan pajak hanya "parkir" di BI karena pejabat pemerintah enggan membangun proyek, dampak perpajakan menjadi negatif bagi ekonomi karena menyerap dana masyarakat yang sebenarnya bisa dibelanjakan.

Ide ini cerdas karena mencoba mengatasi ketidakefektifan pemerintah dengan berpikir out of the box, lewat kombinasi kebijakan demand side (BLT) dan supply side (menurunkan pajak swasta).

Namun ada tiga catatan penting yang perlu dipertimbangkan. Pertama, titik tolak usulan ini adalah asumsi bahwa pemerintah benar tidak mampu membelanjakan anggaran. Namun ini belum tentu sepenuhnya benar. Sejak sistem anggaran baru pada awal 2005, pemerintah memang cenderung kelimpungan membelanjakan anggarannya pada paruh pertama tahun. Kinerja pembelanjaan cenderung meningkat pada paruh kedua.

Kedua, esensi permasalahan anggaran ini adalah kemampuan pemerintah membelanjakan anggaran. Mau tidak mau, ini harus diperbaiki karena banyak hal yang tidak bisa sepenuhnya ditangani oleh swasta. Apalagi, seperti banyak didokumentasikan, salah satu masalah besar swasta adalah infrastruktur. Penurunan pajak swasta tak akan bisa menyelesaikan masalah ini–sebaliknya, jika timing-nya tidak tepat (lihat catatan ketiga), justru malahan akan memperburuk masalah.

Maka, satu kebutuhan mendesak adalah perlunya pemerintah melakukan investasi untuk memperbaiki kapasitas institusionalnya dalam membelanjakan anggaran. Namun, harus diakui bahwa ini cenderung menjadi solusi jangka menengah-panjang.

Ketiga, implementasi kedua usulan Fauzi ini pasti akan menghadapi tarik-ulur politik yang panjang. Jangan-jangan, ketika sudah siap untuk diimplementasi, kedua usulan ini, sudah tidak lagi relevan–atau bahkan, untuk kasus penurunan pajak dalam hubungannya dengan pembangunan infrastruktur, bisa menjadi counterproductive.

Update (22/8): Kurnya Roesad, rekan sesama ekonom, dalam obrolan makan siang, menunjukkan masalah pada usulan Fauzi yang pertama. Katanya, kenaikan BLT tidak tentu meningkatkan konsumsi karena fenomena ekonomi yang dikenal sebagai consumption smoothing. Fenomena ini adalah bagian dari teori permanent income hypothesis.

Pada intinya, teori ini menyatakan bahwa konsumsi seseorang pada satu saat tidak ditentukan oleh penghasilannya saat ini melainkan ekspektasinya akan penghasilannya dalam jangka panjang.

Implikasi teori ini adalah seberapapun besarnya BLT, bantuan ini tidak akan meningkatkan konsumsi total dalam ekonomi jika hanya akan diberikan sementara. Alih-alih memakai seluruh kenaikan BLT untuk konsumsi, mereka akan menyimpan sebagian (besar?)-nya untuk konsumsi mereka di bulan selanjutnya dan untuk berjaga-jaga. Alhasil, efek demand yang diharapkan Fauzi mungkin tidak akan jadi kenyataan.

Saya rasa Kurnya benar.