Jumat, Agustus 11, 2006

Pemisahan kelas untungkan perempuan?

Sisi liberal saya cenderung berang membaca berita tentang pemisahan kelas pelajar laki dan perempuan di Pandeglang ini. Namun, sebagai utilitarian, saya dituntut mencari bukti empiris atas dampak kebijakan ini. Temuan ini oleh Emmanuel Jimenez dan Marlaine Lockheed mencoba meyakinkan sisi egalitarian saya untuk mendukung kebijakan tersebut.

Dalam analisis mereka akan skor mahasiswa kelas 2 SMP antara sekolah yang hanya melayani pelajar laki (atau perempuan) dengan sekolah campur (dikenal sebagai sekolah co-education) di Thailand, Jimenez dan Lockheed (1988) menemukan:
[Girls] in single-sex schools do significantly better than their coeducational school counterparts, while boys in coeducational schools do better. Thus there is not a unique single-sex/coeducational school effect on enhancing achievement, but this effect interacts strongly according to the sex of the student...[Even] after measured inputs and school practices are held constant, a single sex school advantage for females and a coeducational school advantage for males persist.
Atau, pendeknya, dalam sekolah sejenis, perempuan cenderung lebih berprestasi; sebaliknya, laki-laki cenderung lebih tidak berprestasi.

Jika Anda percaya ada diskriminasi terhadap perempuan di ruang kelas, sekilas kebijakan ini menjadi perlu. Janji "pemberdayaan perempuan" ini pulalah yang awalnya merayu sisi egalitarian saya untuk mendukung kebijakan ini. Namun, Jimenez dan Lockheed melanjutkan:
[Peer-quality-effects] in single-sex and coeducational schools appear to account for most of the difference between the two types of schools and their relative effectiveness for male and female students.
Dengan kata lain, hasil ini terutama disebabkan karena sekolah single-sex cenderung melayani masyarakat berada, dan interaksi antar-siswa berada (atau kurang berada) inilah yang menjelaskan hasil belajar tadi. Selain itu, studi ini menunjukkan bahwa hipotesis bahwa sekolah single-sex memberi keunggulan yang berarti bagi masa depan murid tidak terbukti secara meyakinkan.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Pandeglang, kebijakan ini "telah melalui kajian yang matang". Kenyataanya, bukti empiris menunjukkan perlunya kajian lebih lanjut atas dampak positif kebijakan ini. Hingga bukti itu ada, agaknya argumen sisi liberal saya masih tetap lebih meyakinkan...

3 Comments:

At 8/15/2006 10:46:00 AM, Anonymous Anonim said...

Mas Arya, saya percaya dan ada bukti konkrit jika melihat produk-produk sekolah "satu jenis" seperti Kanisius, Tarakanita, Santa Ursula, De Brito, atau Pangudi Luhur misalnya. Namun sekolah-sekolah ini kan pilihan, bagi siapa yang ingin menyekolahkan anaknya secara terpisah, bukan karena sebuah aturan pemerintah yang mengharuskan terpisahnya kelas, apalagi diberi embel-embel meningkatkkan moralitas. Jadi yang membuat keberatan saya adalah soal tiadanya pilihan jika sudah menjadi aturan pemerintah, yang berati "harus" diikuti.
By the way, terima kasih kunjungan ke weblog saya dan link-nya.

 
At 8/15/2006 01:27:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Bung Thamrin: (Sisi liberal saya) setuju dengan Anda, apalagi karena bukti empiris tidak mendukung argumen egaliter (maupun, argumen moralis).

 
At 5/16/2014 06:40:00 PM, Blogger Sitti Aglitasia said...

Assalamu'alaikum...
Terima kasih sebelumnya atas info/ilmunya...
Jadi intinya, Anda setuju tidak dengan kebijakan yang dibuat ini ??

(twitter: @aglitasia)

 

Posting Komentar

<< Home