Rabu, September 13, 2006

Impor beras baik untuk pertanian Jawa

Hari ini di Kompas:
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/28/09Siswono.gifKetua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, dalam peluncuran buku "Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban" di Universitas Indonesia (UI), Depok, mengungkapkan, generasi muda semakin enggan menjadi petani. Sebab, stereotif (sic) petani di Indonesia sudah tergolong masyarakat miskin, pendapatannya tidak menjanjikan kesejahteraan, bahkan sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman ini.

"Karena itu, kalau kita mau mendorong kemajuan pertanian oleh generasi yang terdidik, skala usaha pertanian harus ditingkatkan. Tidak bisa lagi mereka dibiarkan bertani, seperti di Jawa, hanya menggarap lahan rata-rata 0,3 hektar," jelas Siswono.

Jika Siswono benar, impor beras mustinya baik untuk pertanian di Jawa. Jika harga beras turun, hanya petani yang masih mendapatkan keuntungan pada harga rendah itulah yang tetap bertani. Dan jika pengamatan Yudo tentang sifat mono-crop tanah Jawa benar, kemungkinan lahan pertanian tidak bisa dialihgunakan secara mudah.

Kesimpulannya? Luas lahan tetap, jumlah petani berkurang, berarti skala usaha pertanian pun meningkat dan lahan pertanian Jawa pun lebih produktif.

Lalu, mengapa Siswono menolak impor beras?

Label:

3 Comments:

At 9/13/2006 09:02:00 AM, Anonymous Anonim said...

Memang pada akhirnya mereka-terutama petani dengan lahan yang kecil diJawa memang harus keluar dari sektor pertanian. Pengamatan Geertz tahun 1960an ataupun masa kolonial juga menunjukkan bahwa produktivitas marginal tenaga kerja sudah amat rendah-karena tekanan penduduk. Jadi rendahnya produktivitas tenaga kerja dan pada akhirnya rendahnya tingkat upah bukan fenomena baru dan kenyataan ini sepertinya tidak banyak terkait dengan soal impor.

Kadang kita rancu, bicara petani diasosiasikan dengan petani jawa. padahal petani jawa dan bukan jawa beda.

 
At 9/15/2006 01:33:00 PM, Anonymous Anonim said...

Benar seperti yang anda pertanyakan bung Arya. Jika petani semakin berkurang dan lahan tetap, petani yang tersisa seharusnya dapat mengembangkan lahan, dan bisa berarti bertambahnya produksi beras. Persoalannya, Siswono bukan petani, tetapi "mungkin" ia pedagang. Produksi yang dihasilkan oleh petani lokal dapat dibeli dengan harga murah, karena tak ada alternatif lain bagi petani untuk memasarkan produknya. Sehingga harga beli dapat ditentukan oleh "middle man" seenaknya. Adanya beras impor membuat mereka harus bersaing dengan "pemain" baru yang memasukkan beras impor. Seperti ujaran teman saya di LPEM FEUI, middle man mungkin diperlukan mengingat akses petani yang belum maksimal terhadap pasar dan sistem transportasi yang mereka kuasai. Namun jika tak ada persaingan, "the old middle man" akan menjadi dominan dan menentukan harga seenaknya.

 
At 9/15/2006 08:48:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Yudo,
Setuju. Namun mereka juga dihadang masalah struktural lain: masalah pasar tenaga kerja membatasi kemampuan absorpsi sektor manufaktur.

Di sinilah dilemanya: Jika petani Jawa tak lagi bertani, mau apa mereka? Maka, perlu upaya memfasilitasi transisi ini. Salah satunya, evaluasi kebijakan upah minimum. Ide lain dari Edmund Phelps, adalah kebijakan subsidi gaji ke perusahaan jika mempekerjakan dan melatih pekerja dari sektor ini.

Bung Thamrin,
Persoalannya yang diperdagangkan Siswono mungkin bukan hanya komoditas pertanian, tetapi juga komoditas politik. Ini mungkin menjelaskan mengapa nalar (ekonomi?) nya tentang kebijakan kerap tidak konsisten dan koheren.

 

Posting Komentar

<< Home