Kamis, September 14, 2006

Dinamika kemiskinan di Indonesia

Tulisan Kecuk Suharianto ini tentang dinamika kemiskinan rumah tangga seharusnya menjadi bagian berita Badan Pusat Statistik (BPS) tentang tingkat kemiskinan. Tentunya, dengan diperlengkapi tabel-tabel statistik yang lebih rinci.

Ringkasnya tentang dinamika kemiskinan...:
Pertama, persoalan kemiskinan bukan sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan... [Kehidupan] ekonomi penduduk miskin semakin memburuk.

Kedua, kenaikan harga beras dan berbagai barang kebutuhan pokok lainnya membuat penduduk miskin tak punya pilihan lain dan terpaksa mengurangi kuantitas barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi. Kalau tak cepat ditangani, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi di kemudian hari.

Ketiga... yang memprihatinkan, penurunan pengeluaran juga terjadi untuk keperluan pendidikan dan kesehatan. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat akses penduduk miskin terhadap sumber daya ekonomi akan semakin kecil sehingga mereka tidak bisa ikut menikmati kue ekonomi yang dihasilkan.

Keempat, adanya perpindahan posisi penduduk dari miskin menjadi hampir/tidak miskin dan sebaliknya dalam jumlah yang cukup besar menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor), yaitu penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan, cukup besar. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status...

Sementara, opini ekonom Arief A. Yusuf penting disimak untuk melihat potret ketimpangan di Indonesia.
Tidak banyak mungkin yang menyadari bahwa, berdasarkan angka koefisien Gini (indikator standar untuk mengukur ketimpangan), Indonesia ternyata termasuk ke dalam 30 negara yang paling merata sedunia (diperingkat dari data Bank Dunia, World Development Indicator 2002)...

[Namun bisakah] angka koefisien Gini tidak tepat dalam merepresentasikan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya? Tentu saja. Penyebab pertama, angka ketimpangan di Indonesia diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan...

Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang "low profile" sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya...Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga (Susenas) kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.

Setelah melakukan koreksi atas kemungkinan kesalahan pengukuran dan sampling, dari data Survei Sosial-Ekonomi Nasional, Arief menemukan bahwa:
[Angka] koefisien Gini di pedesaan sudah relatif akurat, tetapi angka koefisien Gini di perkotaan sangat under-estimated. Hal ini masuk akal, mengingat golongan sangat kaya di pedesaan tentunya hampir tidak ada jika dibandingkan dengan golongan sangat kaya yang tidak terwakili di perkotaan. Untuk tahun 2002, misalnya, angka koefisien Gini di perkotaan hampir mencapai angka 0,6, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat saat ini, yaitu 0,35.

Saya pikir, analisis Kecuk dan Arief ini seharusnya menjadi bagian integral terbitan resmi tentang Tingkat Kemiskinan (atau, lebih tepatnya, Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga), supaya dokumen statistik kemiskinan Indonesia maju selangkah lagi, dari yang sekarang ke ideal ini, seperti yang saya bahas di sini.

Label:

2 Comments:

At 6/19/2020 03:07:00 PM, Blogger Dani Wahyu said...

Oiya ngomongin kemiskinan, kayaknya nyambung deh sama artikel yang saya temuin baru-baru ini. Di artikel ini disebutkan kalo ada beberapa kesalahan yang bikin seseorang ga pernah jadi kaya. Cek di sini ya: Kesalahan yang bikin kamu tidak pernah kaya, wajib dihindari!

 
At 9/24/2020 01:58:00 PM, Blogger Mujaitun Tukiman said...

Wow, menarik https://www.money.id/finance/wanita-sering-lakukan-kesalahan-finansial-ini-170728z.html








 

Posting Komentar

<< Home