Kamis, Juli 27, 2006

Biaya monopoli bus jalur khusus

Dua berita di Kompas hari ini memberikan ilustrasi biaya ekonomi yang muncul akibat hak monopoli PT Transjakarta, yang pada akhirnya harus ditanggung konsumen bus jalur khusus, serta produsen dan konsumen mode transportasi alternatif.

Biaya #1 - Biaya tidak langsung ke konsumen:
Baru setengah tahun masa operasi bus transjakarta di Jakarta, sejumlah infrastruktur penunjang mulai rusak. Selain aspal jalur bus khusus yang mengelupas, jembatan penyeberangan dan fasilitas halte juga banyak yang tidak berfungsi baik.
Biaya #2 - Biaya ke produsen transportasi alternatif non-jalur khusus.:
Proyek bus jalur khusus koridor V (Ancol-Kampung Melayu) dan VII (Kampung Rambutan-Kampung Melayu) akan memberi dampak sosial tinggi, terutama pengangguran. Dewan Pimpinan Daerah Organda DKI Jakarta memastikan akan ada 2.704 mikrolet tergusur di dua jalur tersebut. Dengan asumsi satu mikrolet dipegang dua sopir, berarti 5.408 sopir angkutan itu akan menganggur.

Biaya #3 - Konsumen mode transportasi alternatif dengan semakin macetnya jalan yang digunakannya.

Biaya #4 - Potensi rent-seeking dari pemilik monopoli maupun pihak lainnya yang menginginkan perlakuan khusus:
Secara terpisah, anggota Komisi D DPRD DKI, HR Rusly, mengatakan, Pemprov DKI harus segera mengatasi agar kehadiran busway tidak menimbulkan persoalan baru. "Solusinya, wadah angkutan bus kecil yang trayeknya berdampingan atau sejajar busway koridor V dan VII harus diberikan kesempatan memiliki saham konsorsium," ujar Rusly.
Untuk yang terakhir ini, saya yakin kolusi antar-penyedia-transportasi lewat konsorsium tidak akan menyelesaikan masalah yang dimunculkan oleh monopoli. Ini hanya akan berujung pada realokasi Biaya #2 ke Biaya #1 dan #3. Konsumenlah yang akan merugi.

Alternatif solusinya? Entah. Yang pasti, ada satu solusi yang belum pernah dicobakan, yakni membiarkan pasar bekerja lebih baik. Ini dilakukan dengan, di satu pihak, melakukan deregulasi supply dan demand transportasi: Permudah penerbitan izin transportasi umum (untuk meningkatkan kompetisi) dan lepaskan patokan harga. Di sisi lain, perlu pengetatan regulasi dalam hal penegakan hukum lalu lintas dan standar keselamatan dan keamanan transportasi umum.

Sayangnya, solusi seperti ini kemungkinan sulit diterima pemilik hak monopoli lain bernama Organda Jakarta. Problem terakhir ini menjadi satu lagi ilustrasi biaya dari monopoli.