Kamis, Juli 13, 2006

Bagir Manan pengijon... dan cerita lainnya

» Ternyata, Bagir Manan punya kerja sampingan sebagai pengijon. Atau setidaknya, pelestari sistem ijon. Begini definisinya menurut Kompas hari ini:

Delik penyuapan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus diperluas. UU itu harus juga menjerat sistem ijon, di mana proses hubungan antara si pemberi dan penerima suap telah terjadi jauh sebelum pemberi suap mengalami masalah hukum.

Bandingkan dengan blog ini. Wah, ternyata niat Bagir mengizinkan hadiah itu baik, untuk melestarikan budaya sosiologis masyarakat pertanian Indonesia. SMS lagi ah...

» Sementara, setelah euforia penandatanganan UU Kewarganegaraan kemarin, hari ini kembali ke realitas. Warga keturunan Tionghoa sudah tidak perlu lagi SKBRI sejak Keppres 56/1996, namun seperti diberitakan Kompas, pemerintah masih meminta menunjukkan surat tersebut untuk "pencatatan administrasi pemerintahan". (Logika yang aneh: sudah tidak berlaku, tapi masih digunakan untuk pencatatan).

Selama ini, kepemilikan SKBRI menjadi isyarat yang dapat diandalkan bagi aparat bahwa orang tersebut: a) takut kepada aparat dan pejabat administrasi pemerintah; b) Jika didesak petugas menggunakan peraturan-peraturan yang membingungkan, biasanya akan lebih memilih membayar daripada urusannya harus panjang; dan c) Jika pun orang itu ingin urusan dibereskan secara benar, orang di sekelilingnya (baik kerabat, maupun orang asing seperti pemborong, pengacara, atau teman biasa) akan cenderung menasihati dia untuk menyelesaikan "secara damai" daripada akhirnya keluar uang lebih banyak.

Masalah ini mirip masalah yang ditimbulkan Ku Klux Klan pada warga kulit hitam seperti dibahas Freakonomics. Pada paruh pertama abad 20, menurunnya tingkat kekerasan Ku Klux Klan disebabkan karena kekerasan di akhir abad kesembilanbelas sampai awal abad keduapuluh membuat warga kulit hitam menyadari dan menerima statusnya sebagai warga kelas dua di hadapan warga kulit putih. Serupa ini, perlakuan tidak adil aparat terhadap mereka sebelumnya membuat warga Tionghoa sadar posisinya sebagai warga kelas dua, sehingga tanpa diminta pun, mereka "tahu diri".

Melihat ini, saya selalu ingat adagium Steven Landsburg, people respond to incentives. Bagaimana benar-benar menghapus SKBRI? Bisa lewat tekanan dari atas dengan lobi politik. Cara lain adalah dengan menghapus insentif ekonomi yang diisyaratkan SKBRI.

Ini harus dilakukan secara kolektif: warga etnis Tionghoa harus berkeras, menolak diperlakukan sebagai warga kelas dua dengan menolak menunjukkan SKBRI atas dasar Keppres 56/1996 dan UU Kewarganegaraan (untuk ini, perlu kampanye akan kedua produk hukum ini). Yang mana yang sebaiknya lebih dulu dilakukan? Mengapa tidak keduanya sekaligus?

» Satu lagi yang menarik hari ini adalah tulisan M. Chatib Basri. Tapi biarlah ini menjadi entry blog tersendiri.

Label: