Cash for work: Solusi pengangguran?
Ada dua hal yang umumnya saya dapati dari tulisan Chatib (Dede) Basri. Pertama, tulisan itu menarik (Dede adalah seorang yang menghargai pentingnya lead dalam tulisan). Dan kedua, umumnya tulisan itu didasarkan pada studi yang solid dan biasanya seimbang. There is no such thing as a free lunch menjadi prinsip yang teguh dipegang Dede: Untuk setiap kebijakan yang baik, pasti ada kelemahannya.
Hari ini, setelah lama tidak menulis, dia menulis tentang program cash for work alias padat karya... Programnya sendiri bukan hal baru. Namun, alih-alih menekankan program itu sendiri (yang kemungkinan akan cepat mendapatkan penggemarnya di kalangan politisi), yang perlu diangkat adalah prasyarat-prasyarat agar program ini bisa mencapai tujuannya:
[Solusi penciptaan lapangan kerja] harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, program ini harus bersifat jangka pendek dan cepat memberikan hasil karena masyarakat tak mungkin lagi menunggu terlalu lama. Kedua, ia tak boleh mengganggu stabilitas makro dan kesinambungan fiskal. Ketiga, harus mencakup aspek keadilan, berpihak kepada yang miskin dan mereka yang memang membutuhkan pekerjaan. Keempat, layak secara administrasi.
Selain itu:
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dibahas secara ketat dan hati-hati. Misalnya soal kompensasi. Ravallion, Datt, dan Chaudhuri (1993) menunjukkan bahwa inti dari program ini adalah sampai sejauh mana pemerintah dapat bertahan dari tekanan populis untuk tidak memberikan kompensasi sejajar dengan upah di sektor pertanian atau upah minimum.Ini bukan masalah sepele namun punya implikasi serius pada keberlanjutan program. Jika pemerintah ingin melakukannya, amat perlu ditegaskan dalam sosialisasi awal kepada politisi dan calon penerima bahwa program ini tidak dimaksudkan sebagai substitusi pekerjaan di luar program, melainkan sebagai jaring pengaman sosial untuk mencegah para penganggur jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan.
Seandainya tingkat kompensasi dinaikkan lebih tinggi dari upah minimum atau upah sektor pertanian, akan terjadi perpindahan pekerja dari sektor lain ke program padat karya ini. Akibatnya, identifikasi penduduk miskin menjadi lebih sulit dan program ini tak lagi dapat dinikmati penduduk miskin. Lebih jauh lagi, beban fiskal menjadi semakin berat.
Sementara masalah kedua adalah korupsi. Dede mengusulkan pendekatan community driven development a la Program Pengembangan Kecamatan (PPK)-nya Bank Dunia. Dua catatan. Pertama, program seperti PPK bukanlah program yang murah – biaya overhead untuk fasilitasi cukup signifikan, dan butuh waktu hingga masyarakat mulai memahami sistem PPK. Kedua, jika Ben Olken benar, pendekatan memerangi korupsi gaya PPK perlu juga dilengkapi dengan pendekatan top-down lewat ancaman audit tiba-tiba.
Pesan terakhir dia adalah:
[Seandainya] ingin dijalankan, sebaiknya ia dimulai dari proyek percontohan. Dari sana ia dievaluasi dan kemudian diperluas.
Inilah pesan terpenting, yang seharusnya berlaku untuk semua program skala besar yang ingin diterapkan pemerintah. Secara spesifik, saya bukan bicara soal perlunya proyek percontohan – ini umumnya selalu dilakukan pemerintah – melainkan soal evaluasi. Selama ini, evaluasi yang dilakukan jarang menggunakan prinsip evaluasi yang benar.
Perkembangan terakhir "teknologi" evaluasi kebijakan, yakni evaluasi acak, memungkinkan evaluasi yang amat dapat dipercaya. Untuk lebih jelasnya tentang evaluasi acak, silakan kunjungi Poverty Action Lab ini. Evaluasi atas proyek percontohan seperti inilah yang perlu dipersiapkan untuk implementasi program sebesar ini.
1 Comments:
I just wanna tell you that i am searching blog like you. i wanna study about economic and i think if i study from student college like u i will understand how the student college think about economic.
i hope i can read your next post.
Posting Komentar
<< Home