Lagi, tentang komoditas unggulan
Hari ini, Kahlil Rowter menulis di Analisis Ekonomi Kompas:
Upaya pemerintah untuk memilih beberapa komoditas unggulan, dengan memberikan beberapa insentif, sudah tepat. Hanya dengan fokus, kemajuan dapat dicapai.
Benarkah? Jawaban saya: "ya" dan "tidak". Atau, lebih tepat lagi, "tidak" dan "ya"... Saya setuju kalimat kedua, tetapi tidak kalimat pertama.
Mulai dengan pernyataan bahwa upaya memilih komoditas itu sudah tepat. Ada setidaknya tiga masalah klasik inheren dalam kebijakan preferensial – atau dalam istilah ekonom, picking the winner – seperti ini. Pertama, masalah keadilan. Kedua, efisiensi dan efektivitas kebijakan. Ketiga, distorsi pada ekonomi.
Masalah keadilan ini konon sudah mulai mengemuka di mana pun Menteri Perdagangan bertemu dengan asosiasi. Pertanyaannya selalu sama: Kenapa X jadi komoditas unggulan, tapi tidak Y? (Contoh nyata: Kenapa furniture unggulan, dan bukan panel kayu). Dan, konon, Menteri selalu berkelit bahwa istilah unggulan tidak tepat (dan mungkin, memang benar bahwa dia tidak memaksudkannya seperti yang ada di benak banyak pelaku sektor swasta, pemerintah, maupun analis – termasuk Kahlil – yakni sebagai komoditas yang akan menerima perlakuan khusus seperti insentif pajak dsb. Baca baik-baik paragraf lima dan enam di sini).
Amat wajar asosiasi menganggap kebijakan serupa ini tidak adil. Kebijakan publik menggunakan sumber daya publik seperti pajak yang seringkali disumbang oleh sektor yang "tidak diunggulkan". Karena itu, perlu alasan "kepentingan masyarakat yang lebih luas" untuk kebijakan publik demi keuntungan sektor terpilih. Namun, memperhatikan komoditas terpilih, tidak jelas apakah ada alasan kepentingan lebih luas ini.
Justru yang muncul adalah problem kedua, yakni efisiensi dan efektivitas kebijakan. Untuk komoditas non-pertanian, kebanyakan komoditas terpilih berada dalam pasar dunia yang kompetitif (dan kerap sudah mampu bersaing sendiri), sehingga tidak jelas mengapa harus menjadi unggulan. Bahwa bangkitnya Cina menyebabkan penurunan siklus bisnis hanyalah sesuatu yang alami ketika terjadi peningkatan penawaran. Jika pun ingin meningkatkan daya saing, perbaikan perlu dilakukan lintas sektor.
Untuk komoditas pertanian, tidak jelas mengapa harus dilakukan pemilihan komoditas terpilih. Ada dua kategori masalah di pertanian: Masalah infrastruktur – baik fisik maupun finansial – dan masalah negosiasi internasional (lihat di sini). Yang pertama harus diselesaikan secara komprehensif tanpa pilih kasih. Yang kedua pun begitu. Tidak jelas apakah memang kebijakan pilih kasih yang paling efektif menyelesaikan masalah yang dihadapi dari meningkatnya persaingan perusahaan-perusahaan di dunia.
Selain itu, kebijakan seperti ini menciptakan distorsi yang melemahkan efisiensi ekonomi. Perlakuan khusus menjadi isyarat bagi para pebisnis untuk mengerubungi sektor-sektor terpilih – meskipun sebenarnya sektor-sektor ini kurang menguntungkan secara jangka panjang dibandingkan sektor lain yang sedang mereka geluti.
Sebenarnya ada masalah keempat yang berhubungan dengan masalah distorsi ekonomi, yang sudah saya tuliskan di sini, yakni masalah ekonomi-politik. Sektor-sektor terpilih akan menciptakan asosiasi yang lebih kuat untuk mempertahankan hak istimewa yang mereka dapatkan dari kebijakan ini – bahkan ketika mereka sudah tidak layak mendapatkan hak istimewa tersebut. Ini adalah pemborosan: Alih-alih untuk kegiatan produktif, sumber daya justru dipakai melakukan kegiatan rent-seeking lewat lobi pada politisi dan pejabat pemerintah.
Namun, seperti saya tuliskan di atas, saya tidak sepenuhnya tidak setuju pada pernyataan Kahlil. Saya mendukung usulan bahwa pemerintah perlu fokus untuk mencapai kemajuan. Namun, fokus itu harus diletakkan pada memangkas biaya-biaya yang muncul dari kelemahan infrastruktur fisik dan institusional untuk mendukung transaksi ekonomi yang efisien secara umum – bukan secara sektoral!
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home