Problem guru-birokrat
Atas permintaan seorang guru SMAN 17 Jakarta, saya menerjemahkan kata-per-kata resensi saya atas buku Indonesian Education yang dimuat di Jakarta Post.
Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy
oleh Christopher Bjork ▪ New York dan London: Routledge, 2005 ▪ xv+185 halaman
oleh Christopher Bjork ▪ New York dan London: Routledge, 2005 ▪ xv+185 halaman
Indonesian Education adalah cerita tentang respons pelaku-pelaku di sekolah terhadap kebijakan pemerintah untuk melakukan desentralisasi yang dimulai awal 1990an. Namun, Bjork menggunakan cerita ini untuk menjelaskan sesuatu yang lebih luas yang, sekilas, kelihatan remeh: Cara guru-guru Indonesia memahami tentang tanggung jawab profesional mereka.
Untuk kebanyakan orang, jelas bahwa tanggung jawab profesional guru adalah mengajar. Namun bukan ini yang ditemukan Bjork pada kunjungannya ke sekolah-sekolah. “Dari sekolah ke sekolah, guru-guru menunjukkan sikap yang seadanya terhadap tugas mengajar... Namun kebanyakan staf sekolah menunjukkan sikap yang amat serius terhadap ritual sekolah” (hal. xiv). Ini membuat dia bertanya-tanya.
Maka, ia pun memutuskan untuk tinggal lebih dari setahun untuk mengamati enam SMP – umum, swasta, dan madrasah – di Malang di akhir 1990an. Ia mewawancara kepala sekolah dan guru, mengamati proses mengajar di kursi belakang, dan duduk-duduk di kantor guru. Hasilnya? Sebuah gambaran yang kaya tentang lingkungan yang dihadapi guru-guru di Indonesia – dan potongan jawaban untuk pertanyaannya.
Salah satu jawabannya ditemukan Bjork dalam sejarah. Orde Baru melihat sekolah sebagai mata rantai penting untuk integrasi nasional. Sekolah menjadi “alat yang penting untuk membangun kesetiaan dan identitas nasional di atas perbedaan etnis, agama, dan kelas”, dan lewat sekolah,”ideologi nasional, pandangan tentang sejarah, serta satu set nilai yang seragam” dikomunikasikan ke warga negara Indonesia.
Maka, Orde Baru mati-matian berusaha memastikan adanya keseragaman ideologis – antara lain, melalui cara menerjemahkan kurikulum:
“Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, para guru memiliki keleluasaan menerjemahkan garis-garis besar yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; pada 1970an, guru ‘semakin dibebani oleh subyek-subyek silabus, kurikulum yang lebih rinci, and lebih banyak lagi tujuan pengajaran.’ (Schaeffer, 1990: 80)” (hal. 53).
Penekanan khusus diletakkan pada kepatuhan dan kesetiaan di sekolah. Misalnya, kepala sekolah menilai para guru dia berdasarkan kriteria seperti kesetiaan, kinerja, kepatuhan, kejujuran, kerja sama, dan inisiatif. Untuk semua kriteria ini, 75 adalah nilai kelulusan – kecuali untuk kesetiaan, di mana guru harus mendapatkan 90 untuk bisa tetap mengajar.
Semua hal ini, menurut Bjork, memberikan isyarat pada para guru bahwa tujuan utama dia adalah untuk mendukung tujuan-tujuan yang dibuat oleh pemerintah pusat di Jakarta. Mereka mempertegas ide bahwa “guru dihargai berdasarkan kerelaan dia melayani pemerintah, bukan keahlian dia sebagai guru” (hal. 95) – sesuatu yang dikonfirmasi oleh keharusan tak tertulis bagi guru sekolah umum untuk bergabung dengan Korpri dan memilih Golkar. Alih-alih harus menjadi guru, pada pengajar diharapkan menjadi guru sekaligus birokrat.
Bjork dengan meyakinkan menggambarkan bagaimana, dalam pelbagai kesempatan, identitas birokrat ini mengalahkan identitas guru. Para guru, misalnya, akan selalu hadir tepat waktu untuk upacara bendera, namun bisa secara tiba-tiba meninggalkan kelas di tengah pelajaran tanpa alasan yang jelas. Antusiasme yang ada dalam rapat guru untuk membahas perayaan ulang tahun sekolah bisa menguap begitu saja dalam rapat tentang kurikulum baru dan teknik mengajar. Memang, ada pengecualian, namun pengecualian ini justru menunjukkan norma yang berlaku.
Mental ini, menurut Bjork, bertanggung jawab atas kegagalan kebijakan Kurikulum Muatan Lokal (KML) pada awal 1990an. Pemerintah pusat, ingin mengikuti tren global desentralisasi pendidikan, memperbolehkan (bahkan mengharuskan) pengelola sekolah memberikan duapuluh persen jam pelajaran untuk kurikulum yang dirancang oleh komunitas pendidikan lokal. Kebebasan ini tidak membuat para guru mulai bereksperimen dengan kurikulum; alih-alih, mereka sekadar memberikan label mata pelajaran “KML” pada mata pelajaran yang sudah ada.
Mengapa para guru tidak antusias, walaupun di atas kertas, semua pihak menganggap KML sebagai kebijakan yang baik? Menurut Bjork, ada masalah mental guru-birokrat:
“Guru-guru di Indonesia tidak melihat diri mereka sebagai agen pembawa perubahan; mereka tidak menjadi guru untuk itu... Peran pengajar sebagai pegawai negeri lebih ditekankan daripada peran sebagai pendidik, dan kesempatan seorang guru untuk membentuk kebijakan dan praktik di sekolah terbatas. Kepatuhan dan bukannya inisiatif-lah yang dihargai.” (hal. 110)
Di lain pihak, para pejabat kerap gagal mengerti bahwa desentralisasi pendidikan bukanlah melulu proses teknis, melainkan sebuah proses yang mengharuskan perubahan institusional secara drastis. “Desentralisasi,” menurut Bjork, “mengharuskan perubahan pada budaya institusional, namun [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan] hanyalah memperhatikan aspek teknis dari proses ini.” (hal. 172).
Hingga kini, gegap-gempita desentralisasi pendidikan terus berlanjut. Dalam inkarnasinya terakhir, ini mengambil bentuk “manajemen berbasis sekolah”. Kegagalan masa lalu tidak berarti inisiatif ini akan gagal lagi. Namun, kegagalan ini mengisyaratkan bahwa ada yang perlu diperbaiki.
Agar berhasil, Bjork percaya bahwa “para pejabat baik di pusat maupun daerah harus memiliki komitmen pada ide yang menjadi dasar desentralisasi, dan memberikan cukup dukungan material dan logistik untuk upaya reformasi.” Sayangnya, menilai dari kontroversi ujian nasional kemarin, muncul pertanyaan apakah komitmen ini benar-benar ada.
Label: pendidikan
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home