Mengembalikan hak yang dirampas
Kemarin DPR mensahkan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan, yang disambut tangis haru banyak pengunjung – mayoritasnya perempuan. Saya sempat terharu menonton reaksi para ibu saat penandatanganan UU itu kemarin, serta membaca cerita Kompas tentang warga Cina Benteng yang rela melepas penghasilannya sehari untuk menyaksikan pengesahan UU tersebut.:
Rita (48), salah satu wanita keturunan China Benteng di daerah Kampung Belakang, Jakarta Barat, sehari-hari mengandalkan hidup dari jasa mengurut. Tetapi, Selasa (11/7) kemarin dia bersama rekannya rela meninggalkan pekerjaan karena ingin menyaksikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan baru.Kisah-kisah warga Cina Benteng memang perlu disandingkan dengan mitos, yang sedikit banyak dipopulerkan oleh Kwik Kian Gie, bahwa 3% orang Tionghoa menguasai 77% perekonomian Indonesia. Saya pikir, angka pengeluaran rumah tangga dari BPS lebih mendekati daripada estimasi tanpa dasar itu. Menurut Susenas 2004, pengeluaran rumah tangga penduduk Indonesia beretnis Tionghoa, yang 1,1 persen dari total, hanyalah 2,5% - amat jauh di bawah 77% - dari total pengeluaran seluruh penduduk.
Warga Cina Benteng jelas-jelas tidak punya andil dalam menguasai "77% perekonomian Indonesia". Kondisi mereka kerap lebih sulit dari warga miskin non-keturunan: tanpa kebebasan ekonomi (karena miskin) maupun politik (karena didiskriminasi).
Namun, hari ini adalah hari untuk merayakan UU yang mengembalikan hak mereka, setidaknya secara de jure. Tentu saja UU ini tidak sempurna. Banyak yang menganggap masih perlu revisi lebih lanjut, terutama karena adanya pasal yang diskriminatif bagi pekerja migran. Belum lagi implementasinya di lapangan. So be it! Tetap saja UU ini adalah langkah maju. Paling tidak buat Rita - dan sedikitnya 2,4 juta warga etnis Tionghoa, baik Cina Benteng maupun bukan, lainnya.
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home