Senin, Juli 03, 2006

Bersaingkah negara?

Hari ini, Kompas memuat tulisan Faisal Basri tentang iklim investasi dan daya saing. Argumentasinya, bahwa persaingan modern, yang tidak lagi menekankan pada biaya variabel melainkan biaya tetap, telah menggeser pola persaingan bisnis menjadi persaingan antarnegara. Namun, apakah memang negara bersaing?

Faisal menulis:

“Karena ongkos tetap banyak ditentukan peran negara, tak ayal pola persaingan pun berubah, tak lagi antarperusahaan, tetapi menjelma dalam bentuk persaingan antarnegara. Negara yang mampu menekan ongkos tetap akan menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan domestik dan asing karena memiliki daya saing tinggi... Persaingan bergeser ke persaingan antarnegara”

Saya pikir istilah “persaingan antarnegara” adalah bagian upaya Faisal untuk meningkatkan urgensi pemerintah untuk memperbaiki iklim bisnis dan investasi. Namun, secara ekonomi, ini menyesatkan. Negara tidaklah bersaing, karena perbedaan endowment (termasuk endowment institusional) justru memungkinkan komplementaritas. Ini tidak berhubungan dengan ongkos tetap atau ongkos variabel. Sementara persaingan tetaplah terjadi pada tingkat perusahaan.

Kritik terhadap ide “persaingan antarnegara” ini bukan hal baru: Paul Krugman, lebih dari satu dekade lalu, menyebutnya sebagai a dangerous obsession. Saya menulis dengan nada serupa sepulang dari pertemuan ekonom ASEAN yang penuh ketakutan tentang bangkitnya perekonomian Cina.

Kembali ke tulisan Faisal, ia pun kemudian menekankan bahwa peran negara harus meningkat sejalan dengan perubahan tersebut:

“Liberalisasi diinterpretasikan sebagai segala upaya untuk memberikan peran lebih luas pada pasar, dan sebaliknya peran negara disurutkan. Dengan kata lain, peran negara secara sengaja terpinggirkan sejalan tuntutan liberalisasi... Rumuskanlah segera peran negara agar dapat membuat negeri ini bangkit dan tak tercecer dari persaingan dunia.”

Jika memang ini adalah interpretasi Faisal akan liberalisasi ekonomi, maka ini adalah interpretasi yang keliru. Tetapi, jika saya tidak salah membaca pesan dia, dia justru memperingatkan pembaca akan bahaya interpretasi keliru tersebut. Karena liberalisasi ekonomi tidak selalu menuntut surutnya peran negara, tapi juga menuntut penyesuaian peran negara – ke arah “spesialisasi” di mana negara memang memiliki keunggulan komparatif. Inilah yang diusulkan Faisal di akhir kutipan di atas.

Ngomong-ngomong soal peran negara, satu peran pentingnya adalah mengurusi penyediaan barang-barang publik dan untuk itu, mengatur perpajakan dengan baik. Namun, masih di Kompas hari ini:

“Sejak kasus restitusi pajak fiktif terjadi tahun lalu, Ditjen Pajak tidak berani memberikan restitusi pajak kalau tidak mendapat konfirmasi ekspor dari Ditjen Bea dan Cukai (BC). Pihak BC sendiri menolak memberikan konfirmasi ekspor, dan mengaku tidak bisa menjamin bahwa barang tersebut benar-benar diekspor...” [Astaga, jika BC saja tidak bisa memberikan konfirmasi, siapa yang bisa?]

Maka itulah, penting bagi negara membatasi perannya: Dengan membatasi diri pada hal-hal di mana negara memiliki keunggulan komparatif, diharapkan negara bisa melakukan perannya dengan baik, sehingga peran seharusnya – seperti menangani pengembalian pajak eksportir – justru bisa dilakukan dengan baik.