Mengiklankan "daerah baik"
Christian von Luebke, seorang teman yang saat ini sedang menyelesaikan riset doktoralnya, baru-baru ini kembali dari penelitian dia di lapangan tentang desentralisasi, governance dan kepemimpinan di daerah. Di sela-sela menunggu print-out kemarin, ia pun bercerita tentang salah satu temuannya yang menarik.
Berbicara tentang iklim investasi dan uang suap, variasi yang dia temukan besar. Di Klaten, misalnya, responden kunci yang dia wawancara menyatakan “biaya” menjadi pegawai negeri sipil (PNS) adalah antara 50-70 juta rupiah. Sementara di Solok, dua belas responden kunci yang dia tanyai menjawab tegas “nol”. Ketika saya tanya Christian, apakah kebijakan anti-korupsi yang tegas ini berbuah pada ketertarikan investor ke daerah-daerah tersebut, ia menjawab, belum.
Ini menciptakan dilema buat bupati. Kebijakan ‘zero tolerance’ pada korupsi umumnya cenderung menabrak kelompok kepentingan yang sudah lama bercokol di sekeliling pusat kekuasaan. Tanpa kekuatan politik dan komitmen yang jauh di atas rata-rata – seperti Gamawan Fauzi di Solok – seorang bupati membutuhkan amunisi untuk membangun dukungan atas kebijakan dia dan melawan kelompok kepentingan dan menerapkan kebijakan zero tolerance.
Seperti yang bisa dilihat dalam pemilihan umum nasional di seluruh dunia, posisi pemegang kekuasaan umumnya diperkuat oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat. Dan terciptanya korelasi atau hubungan antara kebijakan (anti-korupsi dan iklim investasi) yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang baik (yang, untuk daerah miskin, akan ditentukan oleh investasi dari luar) penting bagi upaya memenangi pertarungan dengan “iklim korupsi”.
Sayangnya, seperti diamati Christian, korelasi ini belum muncul. Mengapa? Satu penyebab yang pasti adalah karena kebijakan iklim investasi seringkali bukanlah faktor terpenting dalam keputusan akan lokasi investasi.
Namun, seandainya pun kebijakan iklim investasi itu penting buat investor, saat ini terjadi asimetri informasi: terlalu informasi yang ada untuk memungkinkan investor untuk membuat informed decision tentang lokasi investasi terlalu terbatas. Maka, upaya mengiklankan “daerah dengan iklim investasi yang baik” – dengan indikator spesifik untuk kualitas aparat – perlu menjadi bagian penting upaya memberantas korupsi. Ini bisa dilakukan oleh pihak yang independen (seperti LSM) atau diagregasi dari pelbagai indikator yang dibuat oleh pihak-pihak yang independen tersebut.
Memang sih, bisa saja muncul masalah time consistency: Kalau pun bupati yang sekarang memiliki aparat yang bersih dan ramah terhadap investasi, apakah penggantinya akan tetap begitu? Namun, jika reward dari kebijakan aparat bersih dan iklim investasi besar bagi daerah (secara ekonomi) dan bagi bupati (secara politik), akan ada lebih sedikit alasan untuk mengubah kebijakan tersebut.
Berbicara tentang iklim investasi dan uang suap, variasi yang dia temukan besar. Di Klaten, misalnya, responden kunci yang dia wawancara menyatakan “biaya” menjadi pegawai negeri sipil (PNS) adalah antara 50-70 juta rupiah. Sementara di Solok, dua belas responden kunci yang dia tanyai menjawab tegas “nol”. Ketika saya tanya Christian, apakah kebijakan anti-korupsi yang tegas ini berbuah pada ketertarikan investor ke daerah-daerah tersebut, ia menjawab, belum.
Ini menciptakan dilema buat bupati. Kebijakan ‘zero tolerance’ pada korupsi umumnya cenderung menabrak kelompok kepentingan yang sudah lama bercokol di sekeliling pusat kekuasaan. Tanpa kekuatan politik dan komitmen yang jauh di atas rata-rata – seperti Gamawan Fauzi di Solok – seorang bupati membutuhkan amunisi untuk membangun dukungan atas kebijakan dia dan melawan kelompok kepentingan dan menerapkan kebijakan zero tolerance.
Seperti yang bisa dilihat dalam pemilihan umum nasional di seluruh dunia, posisi pemegang kekuasaan umumnya diperkuat oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat. Dan terciptanya korelasi atau hubungan antara kebijakan (anti-korupsi dan iklim investasi) yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang baik (yang, untuk daerah miskin, akan ditentukan oleh investasi dari luar) penting bagi upaya memenangi pertarungan dengan “iklim korupsi”.
Sayangnya, seperti diamati Christian, korelasi ini belum muncul. Mengapa? Satu penyebab yang pasti adalah karena kebijakan iklim investasi seringkali bukanlah faktor terpenting dalam keputusan akan lokasi investasi.
Namun, seandainya pun kebijakan iklim investasi itu penting buat investor, saat ini terjadi asimetri informasi: terlalu informasi yang ada untuk memungkinkan investor untuk membuat informed decision tentang lokasi investasi terlalu terbatas. Maka, upaya mengiklankan “daerah dengan iklim investasi yang baik” – dengan indikator spesifik untuk kualitas aparat – perlu menjadi bagian penting upaya memberantas korupsi. Ini bisa dilakukan oleh pihak yang independen (seperti LSM) atau diagregasi dari pelbagai indikator yang dibuat oleh pihak-pihak yang independen tersebut.
Memang sih, bisa saja muncul masalah time consistency: Kalau pun bupati yang sekarang memiliki aparat yang bersih dan ramah terhadap investasi, apakah penggantinya akan tetap begitu? Namun, jika reward dari kebijakan aparat bersih dan iklim investasi besar bagi daerah (secara ekonomi) dan bagi bupati (secara politik), akan ada lebih sedikit alasan untuk mengubah kebijakan tersebut.
PS: Bank Dunia baru saja mengadakan konferensi dan menerbitkan laporan menarik tentang iklim investasi di daerah pedesaan (beserta data kasar tentang iklim investasi pedesaan). Silakan lihat di sini
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home