Senin, Juni 16, 2008

Roby Muhamad tentang paradigma kebijakan


Roby Muhamad, di Kompas, mengkritisi arus umum pembuatan kebijakan yang didominasi para ekonom:
Ketika perilaku dapat menyebar—seperti kebiasaan merokok atau pola makan—kebijakan publik akan lebih efektif jika terfokus pada kelompok atau komunitas. Dengan kata lain, dalam memformulasikan kebijakan, tidaklah cukup menimbang baik- buruknya hanya untuk individu. Pembuat kebijakan harus sensitif terhadap konteks sosial tempat kebijakan itu akan diterapkan.

Secara umum ini menunjukkan, manusia tidak selalu mengambil keputusan secara pribadi seperti diasumsikan paradigma individualistis. Kita terkait satu sama lain dalam sebuah jejaring sosial, tempat keputusan yang diambil seseorang akan memengaruhi orang lain.

Tentu saja, Roby paham mengapa paradigma yang dia tawarkan sulit diterapkan dalam kebijakan publik:
Memang perlu diakui, melakukan penelitian untuk kebijakan publik berdasarkan komunitas atau jejaring bukan hal mudah. Ini karena kita harus mengambil data perilaku seseorang berikut perilaku orang di sekitarnya. Selain itu, tidak semua kebijakan perlu didasari paradigma komunitas. Adakalanya kebijakan publik berdasarkan paradigma individualistis sudah cukup baik. Untuk masalah yang kompleks, sangat mungkin paradigma komunitas dan individualistis digabungkan.

Selain itu, ilmu pengetahuan tentang paradigma komunitas dalam konteks sebagian besar kebijakan -- seperti kerangka "jejaring sosial" -- saya kira masih relatif terbatas (antara lain, seperti Roby bilang, karena sulitnya penelitian jejaring). Pengetahuan yang ada masih berputar di kalangan akademis dan belum menetes ke pembuat kebijakan dalam bentuk yang mudah dicerna. Karena itu, tidak heran jika sulit bagi pembuat kebijakan untuk menggunakan paradigma ini.

Label: , ,

9 Comments:

At 7/05/2008 04:12:00 PM, Anonymous Anonim said...

Menurut saya tulisan Bung Roby memang sangat parsial...

Kalau kasus parsial (kasus rokok) digunakan untuk menyerang metodologi individualisme kelihatannya memang jauh dari meleset...(udah jauh, tambah meleset,he2)

yg saya khawatirkan ialah penelitian yg gituan akan memperparah terpasungnya kebebasan berekonomi...

ndak masalah dia mau pakai metodologi apapun, tapi kalau rekomendasi-nya untuk menjajah manusia, ya sama juga boong...

Salam
Giy

 
At 7/06/2008 06:17:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

Bung Giyanto:
Mungkin bisa dijelaskan sedikit kenapa Anda menganggap metode seperti ini bisa berujung pada "rekomendasi yang menjajah manusia"?

 
At 7/06/2008 08:11:00 AM, Anonymous Anonim said...

Saya memang tidak sengaja baca artikel bung Roby saat itu (kalo ndk salah hari jum'at).

Pada awalnya saya sepakat dengan argumen bahwa: manusia itu tidak bebas, dalam arti dipengaruhi lingkungannya.

Terus beliau mencontohkan kasus pemakai rokok (saya lupa argumennya he2).

Tapi intinya, beliau keberatan dengan metodologi individualisme yg kebanyakan dipakai para ekonom (walaupun dalam kenyataan, saya jarang melihat ekonom menggunakan metode ini).

Premis awalnya aja mengatakan bahwa manusia itu harus dilihat dari sudut pandang kohesi sosial.

Penjelasannya pasti yg jelas mengenai kohesi sosial.

Rekomendasinya pasti "cara2" dengan kohesi sosial.

"Cara2" kohesi sosial apalagi yg bukan dengan organisasi?

Lha organisasi sosial itu kan ada dua: 1)yg berlandaskan hukum perilaku manusia (semisal permintaan-penawaran/atau bentukan kultur sosial masing2 masyarakat tsb)
2) yg berlandaskan otoritas kekuasaan, UU, (yg pada awalnya-mulanya sebenarnya kontrak sosial, tapi berubah menjadi "algojo sosial": negara).

Dugaan saya, mana ada peneliti kita yg rekomendasinya tidak mengarah pada organisasi negara!

Misal, dengan polos mengatakan bahwa masalah ini seharusnya diselesaikan oleh organisasi kapitalis atau organisasi adat setempat. Wah, hebat kalo ada penelitian yg rekomendasinya begituan,he2...

Jadi, karena kita hidup di jaman yg menganggap negara sebagai satu-satunya alat pemecah masalah bagi problem sosial, penelitian yg gituan rawan terhadap rekomendasi diberlakukannya cara-cara kekerasan melalui UU dengan sarana paksaan.

Ujung2nya, hukuman diberlakukan bagi pemakai rokok, maka masalah akan selesai. Lho, masalah rokok tidak merokok itu kan urusan pribadi. Siapa yg berhak mengaturnya?

saya kok melihat kenyataan tsb lebih berhasil dilakukan oleh manajer2 mal, dengan sarana etika ataupun pemakaian iklan "area dilarang merokok" dengan "mata2" satpam. Serta pengadaan ruang untuk merokok sendiri oleh pemilik mal.

apakah selama ini melalu UU dari DPR atau Peraturan Pemerintah larangan tersebut berhasil? kan hasilnya nol besar.

Ujung2nya yg disalahkan nanti pasti penegak hukumnya kurang tegas. Saya (DPR/pemerintah) kan tugasnya udah selesai untuk bikin UU? he2

ya, kalau ada masalah penerapannya itu udah urusan polisi/penegak hukum.

Terus polisi menangkapi para perokok di jalan2, he2...

Apakah itu bukan penjajahan?

Barangkali perkiraan saya terlalu jauh, tapi itulah yg sering kita lihat.
Bahwa penggunaan otoritas (negara) itu tdk dapat menyelesaikan apa2..

tapi bayangkan bila anda tadi pemilik Mal, alasan anda adl kenyamanan demi kepuasan para pengunjung/pembeli agar tidak diganggu para perokok. Alasan ini sangat jelas.

Apakah keputusan pemilik mal tersebut berdasarkan paksaan? kan tidak, karena dia merasa perlu melakukan hal tsb.

Jadi, itu yg saya khawatirkan. Rekomendasi penelitian tsb mengarah pada keputusan publik yg bergelantungan pada kekuatan otoritas.

Salam

 
At 7/06/2008 09:04:00 AM, Blogger Roby said...

Bung Giy - mungkin anda tidak membaca tulisan saya tsb dengan utuh.

Saya memberi contoh bahwa kampanye anti-rokok bisa seperti pemasaran pakaian trendi. Setahu saya gaya berpakaian tidak pernah diatur oleh UU (kecuali mungkin oleh Taliban)--dan saya tidak sebodoh yang anda kira dengan menganjurkan DPR atau pemerintah membuat UU atau PP mengatur gaya pakaian trendi setiap bulannya.

Gaya pakaian trendi bukan diarahkan ke individu, karena pakaian trendi itu melambangkan suatu komunitas (komunitas pakaian trendi).

Sebetulnya ada contoh kebijakan berbasis komunnitas yang lebih tepat yaitu program Alcoholics Anonymous (AA). Tapi karena program ini tidak terlalu dikenal di Indonesia maka saya tidak bahas.

Saya anjurkan bung Giyanto lebih giat membaca dan belajar sehingga bisa mengerti bahwa pengaruh sosial (atau "kohesi" menurut anda) tidak hanya terjadi melalui tradisi budaya atau otoritas.

 
At 7/06/2008 01:31:00 PM, Anonymous Anonim said...

"Saya anjurkan bung Giyanto lebih giat membaca dan belajar sehingga bisa mengerti bahwa pengaruh sosial (atau "kohesi" menurut anda) tidak hanya terjadi melalui tradisi budaya atau otoritas".

Teru Anda menambahkan:
"Saya memberi contoh bahwa kampanye anti-rokok bisa seperti pemasaran pakaian trendi."


Apakah Bung Roby ingin mengatakan bahwa kebijakan tsb bisa dilakukan melalui iklan?

Pertanyaan lanjutan, siapa yg melakukan itu (menurut Bang Roby) kalau bukan negara?

Apakah anda berharap seperti iklan penggunaan elpiji, pemakian produk dalam negeri, hemat energi dsb.

Sejak tempoe dulu, yg namanya iklan dari negara itu ndak mutu....dan hasilnya nol besar...

cuma menghabiskan uang rakyat.

oh masalah membaca tidak membaca, itu memang minat org beda2. Dan kelihatannya apa yg saya baca sekarang asumsinya menjauhi apa yg asumsi buku2 yg anda baca sekarang.

Masalah komunitas2 sosial dan perubahan sosial. Itu materi yg empat tahun lalu sempet saya geluti. Tapi kelihatannya ilmu tsb sangat absurd. Tidak dapat menjelaskan apa2...

salam

 
At 7/06/2008 05:25:00 PM, Blogger Roby said...

Pertama, lagi2 anda kurang hati2 membaca tulisan saya. Fokus tulisan saya adalah pada penyebaran perilaku. Iklan bukan menyebarkan perilaku tapi menyebarkan informasi. Meskipun tentu penyebaran informasi bisa menyebabkan perubahan perilaku; tapi keduanya hal berbeda.

Tidak semua trend disebabkan oleh iklan. Trend bisa menyebar melalui proses difusi/perkolasi dari individu ke individu. Contohnya begitu banyak jadi saya serahkan pada anda untuk menemukannya sendiri; sebagai latihan untuk meingkatkan kemampuan belajar anda.

Tapi jika anda memaksa memakai iklan, maka lagi-lagi saya tidak memaksakan pemerintah yang harus beriklan. Program AA yang saya sebut sebelumnya tidak dilakukan pemerintah.

Justru komunitas bisa mengurangi peran pemerintah. Jika anda cukup jeli dan cerdas, metoda yang saya kemukakan adalah desentralisasi. Jika anda pro individu dan anti-pemerintah; bukankah desentralisasi menjadi baik? (anda punya kecenderungan melakukan generalisasi yang sembrono - mohon desentralisasi ini tidak diartikan sebagai desentralisasi pemerintahan).

Sayang sekali Bung Giyanto berhenti empat tahun lalu; tapi tak apa tidak semua ilmu bisa dicerna oleh semua orang. Disini saya sepakat dengan anda: kebebasan individu membuat orang bebas mengejar minatnya yang menghasilkan variasi dan membuat kelompok dimana individu tersebut berada menjadi lebih adaptif.

Suatu saat anda benar, saya salah; suatu saat saya benar, anda salah. Yang pasti kita berdua selalu selamat karena pasti selalu ada yang benar di antara kita.

 
At 7/06/2008 06:52:00 PM, Anonymous Anonim said...

ya, saya sepakat dengan kesimpulan Bung Roby. Dan kelihatannya pendapat anda tepat. Itulah kelebihan saya: orangya sembrono. Hmmm

 
At 12/14/2008 12:01:00 AM, Anonymous Anonim said...

Ikutan ya, biar lebih ramai. Tapi ikutan nanya nih. Aku bertanya pada Pak Roby Muhamad.


1. Apakah buktinya bahwa "Paradigma yang kini sering dipakai dalam perumusan kebijakan publik berlandaskan asumsi bahwa individu mengambil keputusan berdasarkan perhitungan rasional yang menguntungkan dirinya"

2. Barang apakah rokok tersebut? Apakah lebih banyak merokok lebih baik daripada sedikit merokok? Kalaulah (me) rokok bukan barang normal, maka tepatkah menjadikannya sebagai contoh dalam artikel "Masalah Kebijakan Publik"?

Apakah maksud kata "rasional" juga tepat diterapkan pada (me)rokok?

3. Kita ambil kutipan berikut:

"Dua kebijakan itu akan amat efektif jika keputusan untuk merokok atau tidak merokok adalah keputusan pribadi yang tidak dipengaruhi keputusan atau perilaku orang lain"

Catatan, kata "itu" pada kutipan di atas berarti (dibaca) "menaikkan cukai rokok, atau memberi informasi akan bahaya merokok".

Misalkan bahwa keputusan untuk merokok atau tidak merokok memang merupakan keputusan pribadi. Bukan asumsi; memang keputusan individu.

Pertanyaan: Dalam pemisalan seperti ini, apakah memang kebijakan "itu" amat efektif?

Bukankah karena si perokok tidak rasional dan atau mungkin tidak mau tahu sedemikian rupa sehingga kebijakan itu justeru tidak efektif dan digantikan dengan kebijakan yang lebih memaksa melalui pelarangan merokok pada tempat-tempat tertentu!


Bukankah membuat pelarangan merokok pada tempat-tempat tertentu juga didasari oleh pemikiran bahwa memang ada individualistis di dalam "jejaring sosial"?

Mohon petunjuk ya.

 
At 6/16/2010 12:19:00 PM, Blogger bayhaqi said...

nice article! udah gak diupdate lagi nih blog nya?

 

Posting Komentar

<< Home