Sabtu, Agustus 05, 2006

Lagi-lagi, nonsens Kwik Kian Gie

Intelektual publik, menurut Paul Krugman, dibutuhkan untuk membantai ide yang buruk dan memastikannya tidak kembali lagi. Ini tidak mudah memang – apalagi karena ide buruk kerap diusung tokoh-tokoh yang begitu antusias membela idenya tersebut. Kwik Kian Gie, misalnya.

Di opini Kompas hari Selasa lalu (1/8), lagi-lagi ia mengemukakan ide buruk yang cukup lama mengendap: Bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) bukan uang keluar dari anggaran pemerintah. Ide ini pernah saya bantah di Bisnis Indonesia (dan bisa dilihat di sini), namun toh, seperti malaria, ide ini kembali dan kembali lagi. Argumen saya:
Sekilas, pengertian [subsidi bukan uang keluar] ini masuk akal. Namun...kita perlu mencermati asumsi implisit yang dipakai dalam analisis tersebut: bahwa aset alami yang bernama BBM itu gratis - atau, dalam istilah ekonomi, memiliki nilai ekonomi nol. Inilah kekeliruan mendasar analisis tadi.

Untuk memahaminya, bayangkan Anda mendapatkan warisan dalam bentuk 10 batang emas 100 gram. Untuk memudahkan, anggap bahwa harga pasar emas adalah Rp100.000 per gram (atau Rp10 juta per batang)...[Jika] satu batang emas dijual seharga Rp1 juta, apakah Anda keluar uang? Jika, seperti di atas, nilai ekonomi sebatang emas dianggap nol, maka tidak - Anda tidak mengeluarkan sepeser pun.

Namun tidak perlu ekonom untuk menunjukkan kelirunya analisis ini: jelas bahwa meski mendapatkan Rp1 juta, Anda kehilangan sebatang emas seharga Rp10 juta. Dengan kata lain, Anda "keluar uang" sebesar perbedaan harga pasar dan harga jual, yakni Rp9 juta.
Saya semakin tidak paham dengan manuver Kwik. Buat saya, hanya ada dua penjelasan di balik artikel tersebut.

Pertama, Kwik benar-benar tidak memahami konsep ”opportunity loss”. Jika demikian, nalar ekonomi Kwik patut diragukan. Namun, penjelasan ini sulit dipercaya: Sukses bisnis Kwik menunjukkan bahwa dia paham betul konsep ini. Kemungkinan kedua, Kwik sebenarnya paham, namun karena satu dan lain hal, mencoba menyebarkan ide yang tak sesuai nalar dia. Jika ini benar, ini berarti dia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (politik?)-nya, sehingga alih-alih nalar ekonomi, integritas dialah yang patut dipertanyakan.

Apapun penjelasannya, satu hal jelas keliru pada artikel Kompas tersebut. Di akhir tulisan, tercantum ”Kwik Kian Gie, ekonom”. Seharusnya: ”Kwik Kian Gie, politisi”.

17 Comments:

At 5/13/2008 09:33:00 AM, Blogger Unknown said...

Saya juga heran dengan anda bahwa segala sesuatu dinilai dengan nilai ekonimis (ciri ekonom) liberal kalau sebatang emas itu saya jual Rp 1 juta saya tidak kehilangan uang 9 juta, wong saya dapat warisan saya tidak perlu mikir nilai ekonomis wong saya jual kepada anak atau saudara sendiri begitu juga BBM wong dijual kepada rakyat sendiri kok mikir nilai akonomis lho kalau di zakatkan atau disumbangkan bagaimana ? (belajar ekonominya ekonomi liberal terus sih mas mbok belajar ekonomi syariah

 
At 5/15/2008 10:52:00 PM, Blogger Arya Gaduh said...

Slamet
Analogi warisannya memang belum lengkap. Dalam hal subsidi BBM, yang menjadi masalah adalah bahwa warisan Rp.9 juta-nya sebenarnya bisa digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, jalan yang bisa menolong saudara-saudara yang lebih membutuhkan.

Namun, alih-alih demikian, sebagian besar dari Rp.9 juta tersebut digunakan untuk menolong para pemilik kendaraan pribadi, bukan mereka yang termiskin. Saya memang kurang paham tentang ekonomi syariah, tapi apa memang menurut ekonomi syariah ini cara bijaksana menggunakan "warisan"?

 
At 5/21/2008 09:03:00 PM, Anonymous Anonim said...

bagi saya, mau liberal,syariah. selama indonesia belum menyelesaikan "hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain...." seperti teks proklamasi yang menandakan kemerdekaan belum selesai. indonesia masih dibawah kendali perusahaan dan kapitalis neolib tempat anda sekolah yang juga menopang hidup negara adikuasa yang anda banggakan konsep ekonominya.syariah juga yang seperti apa? untuk menyepakati bagaimana bentuk barangnya saja, ekonom islam masih debat terus. pilihan paling mungkin, ya.. nasionalisasi Chevron dan perusahaan penjajah lainnya. mas bantu urunan ya, jangan ke enakan hidup di negara penjajah... piss....

 
At 6/17/2008 02:03:00 PM, Anonymous Anonim said...

Bila dilihat dari konsep opportunity lost, memang pernyataan anda benar. Namun bila dilihat dari sisi kesejahteraan masyarakat hal ini bukanlah mencerminkan prinsip keadilan.Bayangkan saja bila harga BBM Indonesia di samaratakan dengan harga BBM Amerika yg jelas2 memiliki GDP riil yang lebih besar dari Indonesia.Analogikan bahwa rakyat miskin harus membeli barang dengan harga orang kaya.Mungkin bila dilihat dari opportunity loss,solusi yang tepat untuk masalah ini adalah dengan mengekspor BBM Indonesia dengan harga internasional dan menjual BBM di dalam negeri dengan harga yang tentunya lebih terjangkau masyarakat kecil dengan tingkat pengeluaran subsidi yang rendah pula.Semacam differensiasi harga.Masa negara-negara Timur Tengah berhasil menerapkan hal ini,Indonesia yang notabene sama-sama pengekspor BBM tidak bisa melakukannya?

 
At 7/03/2008 11:37:00 AM, Anonymous Anonim said...

Maaf, sepertinya ada sesuatu yg dilupakan oleh Bung Arya atau hanya pura2 lupa,dimana Pertamina dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat,bukan hanya untuk kepentingan profit semata, atau opportunity loss yg anda katakan itu. Ada hal aneh pada fenomena kenaikan BBM dunia dewasa ini, pada rezim orla dan orba dimana pada saat terjadi lonjakan harga BBM pada saat itu pemerintah dapat mengeruk keuntungan yg sgt besar, pembangunan sangat pesat dan tingkat kesejahteraan pun sangat tinggi, hal ini dilihat dengan melonjaknya GDP riil dan nominal Indonesia pada saat itu. Namun, hal itu sangatlah kontras dgn kondisi ekonomi rakyat Indonesia pada sekarang ini, pemerintah banyak melakukan pengambilan2 keputusan yg praktis dan cenderung konyol tanpa memperhitungkan efek dominonya, dan pembangunan2 multi sektoral yg digadang2 oleh pemerintah hanya sekedar dongeng tidur saja, lalu kemanakah larinya profit dari migas itu?. Ada pernyataan menarik oleh pertamina pada saat menaikkan harga gas baru2 ini, lagi2 dg alasan sama yaitu naiknya hrga gas dunia, pertamina dg arogannya mengatakan bahwa pemerintah tidak berhak ikut campur pada harga tabung ukuran 12kg dan 50kg, lagi2 pertamina melupakan perannya sebagai perusahaan yg dibentuk dg "uang rakyat" utk mensejahterakan rakyat bukan utk menyengsarakan rakyat seperti yg diamanatkan pada UUD 45 pasal 33. Bukalah mata hati kalian, masalah ini bukan hanya sekedar profit semata yg tidak tahu kmana rimbanya, yg hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja. Harga BBM dunia naik tpi rakyat Indonesia tdk dpt merasakan dampak keuntungannya sebagaimana lazimnya negara2 pengekspor BBM lainnya. Sekali lagi saya tekankan, ini bukan masalah profit ataupun opportunity loss semata, namun ada kemelekatan dg hajat hidup rakyat Indonesia.

 
At 7/05/2008 03:58:00 PM, Anonymous Anonim said...

Menarik mengutip kata2 ini:
"intelektual publik, menurut Paul Krugman, dibutuhkan untuk membantai ide yang buruk dan memastikannya tidak kembali lagi. Ini tidak mudah memang – apalagi karena ide buruk kerap diusung tokoh-tokoh yang begitu antusias membela idenya tersebut".

Wah saya kok baru tahu kalau Paul Krugman ternyata sadis. Tapi nggak apa2, saya sebenarnya suka prinsip yg begituan..

Mengenai masalah subsidi BBM, saya juga nggak sepakat adanya subsidi. Tapi kelihatannya ini masalah sederhana yg diperumit sedemikian rupa, sehingga debatnya sampai ke mazhab2, yg penganutnya sering terjebak pd simbol2 status. Entah itu syariah, liberal, neo-lib, marxis dsb, kalau bikin org tidak produktif, parasit, dan perdagangan tidak fair, ngapain dipertahankan...

Menurut saya, musuh terbesar jaman ini sebenarnya adalah Intervensionisme....

mana ada masalah ekonomi diselesaikan oleh pemerintah. Ekonomi itu ya diselesaikan pelaku ekonomi itu sendiri...

Jadi, setiap gerak pemerintah itu sebenarnya harus selalu dicurigai...bisa2 kalau dibiarkan mereka terus mencuri dari rakyatnya...

Emang subsidi BBM itu darimana kalau bukan dari pajak...
Terus pajak darimana? kan dari rakyat....

Oh ya saya lupa, Kelihatannya Pak Kwik pernah menghina Paul Krugman di bukunya ya?

Jadi Bung Arya balas dendam ni ceritanya. Ya ndak apa2...Namanya juga gagasan manusia.

salam
Giy (Praksiolog)

 
At 7/06/2008 08:38:00 AM, Blogger Arya Gaduh said...

Anonim (6/17/2008):
Saya tidak yakin konsep keadilan seperti apa yang Anda rujuk, tapi dalam soal ini, saya cenderung setuju prinsip yang dipakai dalam analisis Arief Yusuf ini tentang adil-tidaknya subsidi BBM.

Sementara, soal usulan Anda tentang diferensial harga sudah tidak relevan lagi sejak Indonesia menjadi net importir BBM dalam beberapa tahun terakhir.

Anonim (7/3/2008):
Justru karena kemelekatan dengan hajat hidup orang banyak inilah maka subsidi BBM, setidaknya untuk subsidi premium, harus dihapuskan agar anggaran bisa digunakan untuk kepentingan kesejahteraan yang lebih mendesak. Dan soal opportunity cost amat relevan bagi kesejahteraan rakyat.

Giyanto:
Semua peran pemerintah itu buruk? Termasuk dalam menyediakan kerangka hukum sebagai panduan bagi pelaku ekonomi untuk beraksi? Atau dalam mendorong kompetisi lewat organisasi seperti KPPU yang mencegah perilaku monopoli (yang cenderung menindas seperti para totalitarian)?

Saya balas dendam? Tidak juga, karena saya bukan pengagum Krugman. ;-) Hanya saja, saya pikir cara dia menggambarkan peran intelektual publik amat menarik.

 
At 7/21/2008 03:43:00 PM, Anonymous Anonim said...

Waw,sptinya masalahnya smkin menarik saja ttg naiknya harga BBM. Mnurut pendapat saya sbagai org awam dan sbg org akuntansi, kenyataannya HPP BBM dri mulai ngeruk smpai ke pom bensin yg krg dri Rp. 1000/ltr nggak msuk akal klo dijual dg hrga Rp. 6000/ltr, apalagi dibilang ada subsidi. Dan pernyataan bung Arya ttg Indonesia net importir BBM itu mrupakan suatu kslahan bsar,krn mnrt mentri Purnomo Y, mengatakan bahwa tingkat ekspor BBM Indonesia msh jauh lbh tinggi dibandingkan tingkat impor. Hal ini tidak msk diakal krn knp qt msti ttp mengimpor sdangkan tgkt ekspor BBM jauh lbh tinggi?? Suatu tanda tanya besar nih yg perlu dicamkan...

Mnrt pendapat saya lgi sbg org awam dan sbg org akuntansi pemicu inflasi spt saat ini adl tingkat keserakahan manusia yg menilai profit tlalu tinggi, dg merujuk konsep opportunity loss yg anda katakan itu, shingga byk bmunculan para spekulan yg memainkan harga2 faktor produksi, dan akhirnya berakibat pada tingkat inflasi yg sangat tinggi. Mungkin kalian2 smua bru akan terbuka matanya bila tingkat inflasi telah menyentuh hyper,spti yg tjadi pda Negara Jerman pasca PD II dimana harga secangkir kopi mencapai 2 jt mark. Pikirkanlah itu,jgn memikirkan ttg keuntungan semata,tanpa melihat efek domino yg akan tjadi

 
At 7/31/2008 09:22:00 AM, Anonymous Anonim said...

Bung Anonim yg akuntan:
terkait inflasi di jerman, permasalahan ialah bukan para pelaku bisnis yg serakah akan keuntungan ataupun pelaku spekulan.
Setahu saya, inflasi di Jerman terkait kebijakan moneter. Karena jerman membutuhkan dana untuk perang, disebabkan pemasukan pajak saja tidak cukup. Maka pemerintah jerman menciptakan inflasi (dengan mencetak uang sebanyak mungkin).

Jadi sumber permasalahannya adalah perilaku pemerintah.

Menanggapi Bung Arya:
Sekali lagi menurut saya, pemerintah sebenarnya tidak memiliki peran apa2 dalam hal perekonomian, pemerintah hanya bisa mendistorsi pasar.

Mengenai penjaminan agar tidak adanya monopoli. Siapa yg berhak mengatur ini? menurut saya ya konsumen.

Kalo pasar benar2 bebas, maka tidak akan terjadi monopoli. Seandainya ada pemodal besar yg "seolah" memonopoli, sebenarnya tidak patut menyalahkan pemodal tsb.

bukankah sekarang yg terjadi sebaliknya, gara2 aturan pemerintah malah terjadi banyak monpoli?
semisal permasalahan listrik,Beras,Minyak dsb.

Liat saja sektor2 yg peran pemerintah sudah dikurangi: pertelevisian, telekomunikasi, adalah contoh kecil keunggulan pasar bebas.

Sementara itu dulu.

 
At 10/10/2008 11:36:00 AM, Anonymous Anonim said...

Disinilah Pandangan Kapitalis yang begitu kental menjadi, dasar pengambilan kebijakan. yang menganggap Hubungan antara Pemerintah dan Rakyatnya seperti Penjual dan pembeli yang, dimana pemerintah adalah penjual yang tidak boleh rugi dan rakyat pembelinya, Padahal seharusnya Pemerintah bertindak sebagai Pengayom dan Penjaga Kesejahteraan rakyat yang tidak memikirkan lagi untung ruginya, karena kalau rakyatnya makmur pemerintah juga yang naik pamornya, layaknya seorang Ayah terhadap Anak anaknya, apakah pernah seorang ayah memikirkan keuntungan yang harus ia dapat saat membiayai anaknya? memberinya makan dan menyekolahkanya???
tentunya tidak. dan seperti itulah harusnya hubungan yang terjalin antara pemerintah dan Rakyatnya.

 
At 1/21/2010 01:16:00 PM, Anonymous Anonim said...

jujur saja saya bingung saya yang bodoh atau anda yang bodoh bung arya.. Apakah jika anda berdagang dengan ayah anda yang mewariskan anda modal untuk anda usaha, anda akan cari untung?? tolong dijawab...Mengenai analisa anda agar keuntungan dari harga BBM (Opportunity loss)lebih tepat dialokasikan ke sektor lainseperti pendidikan, kesehatan dan lainnya...maaf saya bantah sekali lagi...Ingat ada pajak rakyat..Ingat ada pajak import dan ekspor...Ingat ada Pajak pertambahan nilai...Ingat masih banyak pemasukan dari pemerintah untuk membiayai pemerintahan dan Rakyatnya....
Kemarin saya menonton salah satu tayangan di TV swasta yang menayangkan bahwa penambang minyak liar di Palembang menjual hasilnya berupa bensin sebesar Rp 3.000,-...Anda bayangkan jika dengan peralatan sederhana..dengan kapasitas mereka yang hanya bisa mendapatkan hasil 400 liter per hari bisa menjual dengan harga Rp 3.000 dan masih dapat memperoleh keuntungan dan hidup dengan layak....bagaimana mungkin Pertamina dengan Produksinya yang Ribuan kali lipat per hari HARUS menjual sebesar Rp 4.500 kepada Rakyat yang sebenarnya adalah pemilik modal dari pertamina...SUNGGUH TIDAK MASUK AKAL...
Ingat....MINYAK, BBM bukan lagi kebutuhan si KAYA....tetapi BBM menguasai hajat hidup semua orang...kenaikan harga BBM menyusahkan Rakyat kecil dan kecil pengaruhnya terhadap si KAYA...Mengapa demikian, karena si KAYA adalah pemilik perusahaan yang akan menaikkan Harga Jual Produknya seiring dengan kenaikkan BBM yang pada akhirnya hanya akan menindas lagi Rakyat kecil.....Jika anda belum paham..tanya saya...akan saya jelaskan lebih lanjut...Jangan asal menulis Pak Kwik sebagai non sens...Pak Kwik adalah pahlawan Rakyat...Jika saja Banyak pejabat pemerintah yang sama karakter dan integritasnya dengan beliau maka Negara Indonesia tidak akan hancur dan terpuruk seperti ini...NEGARA KITA ADALAH NEGARA YANG KAYA...

 
At 2/19/2010 10:07:00 AM, Anonymous Anonim said...

Bung Arya, saya kasihan kepada anda bila dari 2006 sampai saat ini anda belum berubah dari pemahaman ekonomi sebagaimana di artikel anda di tahun 2006 tsb. Anda belum cukup belajarnya, jika bukan anda memang kurang cerdas untuk belajar. Bicara masalah ekonomi yang sesuai dengan fak anda pun anda tidak faham, apalagi bicara bidang keilmuan lain.

Namun untuk menghargai hak anda bicara, saya tidak ingin melarang anda berpendapat. Meski saya menganggap faham anda ini berbahaya bagi bangsa dan negara dimana nama anda berasal. Kalau anda belajar di barat, saya pun juga. Namun pemahaman saya sangat bertolak belakang dengan faham anda.

Saya tidak berfaham apapun, karena faham2 itu akan mengkotakkan kita di sudut2 keilmuan. Liberalisme, sosialisme, komunisme, syariah(isme), dsb saya pelajari, namun itu semua tidak komprehensif dalam menemukan sintesa untuk melahirkan kebijakan yang obyektif. Kita lihat ekonomi komunis sudah gagal, disusul dengan kegagalan ekonomi liberal dan kapital yang barusan terjadi 2008. Betapa amazing-nya rakyat Amerika mem-bailout institusi bisnis besar2 mereka, yang orang di seluruh dunia nggak akan percaya bisa kolaps. Kalau liberal murni, maka pemerintah Amerika tak perlu bailout donk.

Anda bikin blog Nalar Ekonomi, tapi ternyata nalar anda tidak ekonomis. Hakikatnya, ekonomi itu kan harus berfihak pada yang empunya ekonomi. Kalau yang punya obyek adalah rakyat Indonesia, maka ekonomi itu harus berfihak kepada rakyat juga. Ini mungkin akan membuat anda pusing lagi, belum lagi anda masih harus menyelesaikan belajar anda.

Sekarang bila saya meminjam kacamata ekonomi liberal anda. Saya tak perlu berbusa2 berdebat. Bila anda maunya hitung harga BBM sesuai standard internasional atau pasar dunia, maka anda juga harus menerapkan pendapatan masyarakat dan jaminan hidup masyarakat pada standard internasional. Dengan begitu harga bensin Rp 6.000,- pun akan murah bagi rakyat, rakyat nggak akan protes. Rakyat tak perlu diberi charity dengan Raskin, JPS, dsb. Saya bekerja di Australia, maka tagihan listrik yang Rp 400 ribu per-bulan dan Bensin yang Rp 9.000,an per-liter pun terbeli dan murah. Karena ketidakkonsistenan pemerintah Indonesia menggunakan madzab ekonominya maka rakyat sengsara, lalu dengan terpaksa rakyat mencuri (bahasa kerennya korupsi). Sedari miskin mereka belajar korupsi, maka begitu jadi pejabat juga akan korup. Akhirnya korupsi menjadi mind stream.

Saya sudah terlalu banyak tahu bahwa Indonesia itu negara besar dan kaya tetapi kecil dan miskin di mata internasionalnya. Saya juga tidak percaya bahwa bila menyak dan sebagainya dikuasai oleh Pertamina, PLN, dsb (negara) juga akan bisa mensejahterakan rakyat. Jadi saya tidak membela anda, dan juga tidak membela negara Indonesia yang sampai saat ini tidak memikirkan rakyatnya.

Ini adalah introduksi saja. Anda renungkan dulu dalam2. Saya hanya menasehatkan kebaikan saja kepada anda dan sudara2 saya sebangsa yang berpendapat seperti anda.

Peace..... Saya, Prihatmono.

 
At 3/23/2012 09:13:00 PM, Blogger Rae said...

Rasanya Pak Kwik gak mempermasalahkan opportunity lost itu deh.

Sebenernya secara implisit, Pak Kwik ingin bilang, bahwa tanpa menaikkan harga BBM, APBN Indonesia akan tetap aman-aman saja.

Tanpa menaikkan BBM, Pemerintah TIDAK AKAN DIRUGIKAN, walaupun memang menjadi tidak diuntungkan juga dengan adanya kenaikan harga minyak dunia.

 
At 3/24/2012 12:09:00 AM, Blogger Putra Saja said...

Sampai matipun logika kwik benar adanya, kecuali kalau produksi minyak Indonesia dibawah 10 % atau bahkan tidak berproduksi sama sekali (100% importir). Begini, karena tidak adanya data yg sahih dan komposisi yang berubah-ubah, katakanlah produksi dalam negeri (PDN) 50% dan yg harus diimpor 50%, cost PDN katakanlah rp. 1.800,-- dan harga impor Rp. 8.000,-- dan BBM dijual Rp. 6.000,-- kepada rakyatnya sendiri, berarti masih ada alfa/keuntungan Rp. 4.200 per liter (Rp. 6.000,- dikurangi Rp. 1.800,--), tentunya masih ada sisa untuk memberikan subsidi sebesar Rp. 2000,-- (Rp. 8.000,- dikurangi harga jual Rp. 6.000,--) sepanjang komposisi yg diimpor dan diproduksi tidak berbeda jauh atau ekstrim. Sebetulnya yg perlu diperhatikan adalah memberantas penyelundupan, meningkatkan efisiensi dan sedikit menyimpang tapi sangat penting memberantas korupsi. Itu semua yg lebih perlu untuk ditingkatkan atau diberantas, bukan main gampang, naikkan harga BBM. Multiplier efeknya kemana-mana, semua harga yg terkait dan tidak terkait BBM pasti ada koreksi, bohong besar apabila rakyat tidak tambah miskin terutama kelas menengah yg bepenghasilan tetap dan kelas bawah. Para ekonom, para ahli anggaran, Kwik selalu siap ditantang adu argumen oleh siapa saja dan dimana saja tentang pemikiran dia. Anda semua yg pakai asumsi-asumsi yang canggih dan menganggap Kwik dan para pendukung pahamnya yg sederhana sabagai tidak paham permasalahan, harap segera ubah mindset anda. Bravo Kwik Kian Gie, anda memang politisi sekaligus ekonom jempolan yg berintegritas sangat tinggi.

 
At 3/24/2012 05:58:00 PM, Anonymous Anonim said...

Dalam UUD 45 jelas tertulis bahwa kekayaan bumi adalah milik dan dipergunakan seluas2nya utk kepentingan rakyat. Ini menjadi kewajiban pemerintah utk menyediakan bbm yg murah dan terjangkau kepada rakyat krn indonesia memiliki migas yg besar. Begitu jugan dgn fasilitas umum lainnya, seperti listrik PLN, telepon, internet, transportasi, dsbnya yg merupakan infrastruktur bukannya komoditi. Apalg negara kita mampu krn memiliki kekayaan alam yg luar biasa. Ini merupakan kewajiban negara kepada rakyatnya, dlm usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan bernegara!!! Hak2 rakyat direbut dgn banyaknya korupsi dan pengayaan pihak2 tertentu dikalangan atas dgn adanya deal2 tertentu dg negara adidaya

 
At 3/26/2012 06:33:00 PM, Blogger Harry said...

Yang perlu sekali dipahami adalah: BBM adalah sumber energi yang non-renewable, akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jadi kewajiban pemerintah adalah menyediakan ENERGI yang murah, terjangkau dan ramah lingkungan. Apakah BBM memenuhi kategori ini?

 
At 11/22/2014 03:21:00 AM, Blogger Unknown said...

Yang disebut "kita" disini itu siapa? Pemerintah atau rakyat?? Kalau rakyat sih, mau dijual 10 juta pun tetap kehilangan 9 juta.. Sebab 9 jutanya digerogoti TIKUS!

 

Posting Komentar

<< Home